Cokelat Ransiki yang umami melindungi bumi

Antara News, 4 September 2019

Oleh Fitrian Ardiansyah dan Tissa Aunilla *)

*) Fitrian Ardiansyah adalah Pendiri dan Ketua Pengurus IDH-Inisiatif Dagang Hijau, dan Tissa Aunilla adalah Pemilik Pipiltin Cocoa

Original link: https://www.antaranews.com/berita/1044262/cokelat-ransiki-yang-umami-melindungi-bumi

Pohon kakao (cokelat) Ransiki di Kabupaten Manokwari Selatan, Provinsi Papua Barat. (ANTARA/HO-IDH/Beawiharta)


Jakarta (ANTARA) – Umami (gurih), creamy, earthy, nutty mungkin bukan deskripsi yang umum dipakai untuk menceritakan rasa cokelat. Terutama apabila rasa itu timbul dari biji cokelat hasil fermentasi yang berkualitas tinggi, tanpa ditambahkan suatu perasa apapun, dan rasa tersebut ternyata ada di cokelat Ransiki dari Papua Barat.

Secara umum, Indonesia terkenal sebagai negara yang kaya akan hasil bumi. Tantangannya, hasil bumi ini diharapkan bisa memberikan nilai tambah bagi petani dan produsen di rantai pasok serta juga produk yang dihasilkan punya kualitas yang bagus dan ramah lingkungan sehingga diterima pasar dunia. Cokelat Ransiki sepertinya bisa menjawab tantangan ini.

Nama Cokelat Ransiki sendiri diambil dari nama daerah penghasil biji kakao (cokelat) di Kabupaten Manokwari Selatan, Provinsi Papua Barat. Pemilihan nama ini bertujuan untuk mengingatkan bahwa petani kakao dan pelaku usaha cokelat harus berkembang bersama dan saling membantu.

Nama koperasi yang dibentuk pekebun cokelat Ransiki seakan-akan diciptakan untuk memberikan semangat lebih untuk mengutamakan kesatuan dan kerjasama tim untuk membuat perkebunan cokelat di sana lebih maju: “Eiber Suth”, yang artinya kesatuan untuk bangkit.

Pemilihan nama Cokelat Ransiki setidaknya akan selalu mengingatkan pelaku usaha di rantai pasok untuk terus berkomitmen membantu dan berkolaborasi dengan pekebun kecil seperti yang tinggal di Ransiki, baik dari komitmen pembelian, dukungan teknis dengan mitra lainnya untuk upaya peningkatan produktivitas, kualitas dan keberlanjutan produksi kakao.

Meningkatkan produksi

Kerja sama antara pekebun, pelaku usaha, pemerintah dan mitra lainnya di rantai pasok kakao menjadi keniscayaan terutama bila Indonesia ingin tetap menjadi produsen penting di dunia.

Indonesia sempat menempati peringkat ketiga di dunia dengan tingkat produksi kakao 350.000 ton per tahunnya di tahun 2014. Namun, saat ini Indonesia hanya ada di urutan keenam dengan tingkat produksi 175.000 ton per tahun (2018), jauh sekali dari tingkat produksi di tahun 2008 yang bisa mencapai 620.000 ton.

Dengan kapasitas proses pengolahan biji kakao sekitar 400.000 ton, terutama yang berada di Sulawesi dan Jawa, peningkatan produktivitas dan kualitas kakao bila bisa didorong, tentunya merupakan suatu upaya yang ditunggu oleh industri cokelat nasional.

Namun, sekitar 1,5 juta hektare lahan yang ditanami dengan komoditas tanaman kakao, termasuk di Papua Barat dibudidayakan oleh pekebun kecil, sehingga aspek keberlanjutan atau kelestarian kakao tidak akan dapat dicapai tanpa melibatkan dan/atau meningkatkan kesejahteraan pekebun kecil.

Inovasi dan skema yang membantu kapasitas pekebun (terutama dalam konteks peningkatan produktivitas melalui penyediaan bahan tanam yang unggul, pengelolaan lahan dan budidaya yang lebih baik melalui pendampingan intensif, serta penguatan organisasi petani atau koperasi) akan menjamin keberlanjutan sektor kakao.

Selain itu, peningkatan kesejahteraan pekebun kecil kakao menjadi kunci agar kakao bisa dikembangkan lebih produktif (sehingga memberikan insentif bagi petani). Namun, hal ini hanya bisa dilakukan bila opsi penghidupan dan kewirausahaan yang berkelanjutan dikembangkan bagi desa tempat petani kakao tersebut tinggal, seperti di Ransiki.

Pelaku usaha, seperti Pipiltin Cocoa dibantu mitra pembangunan seperti IDH (Inisiatif Dagang Hijau), dapat mendukung pemerintah, pembeli kakao lainnya dan lembaga keuangan mengembangkan skema dan intervensi yang tepat sehingga tercipta ekosistem ekonomi kakao yang terintegrasi dari hulu (pekebun) ke hilirnya (fasilitas pemrosesan, pembeli, investor sampai ke konsumen).

Seorang perempuan sedang memanen kakao (cokelat) Ransiki di Kabupaten Manokwari Selatan, Provinsi Papua Barat. (ANTARA/HO-IDH/Beawiharta)

Rantai pasokan

Dalam rantai pasok tersebut, sangat penting bagi pekebun kecil untuk mengetahui peran mereka terutama untuk menjaga dan meningkatkan kualitas bahan baku kakao, yang akan digunakan untuk proses produksi cokelat.

Kualitas bahan baku yang dapat dipertahankan dari daerah masing-masing dapat memberikan kebanggaan bagi pekebun dan daerah mereka apalagi bila bisa diakui di tingkat global sebagai produsen biji kakao yang berkualitas.

Sebagai tahapan awal penyediaan insentif bagi pekebun, misalnya, 10 persen hasil penjualan Cokelat Ransiki koleksi tertentu akan disumbangkan ke koperasi pekebun sehingga insentif langsung ini bisa memacu semangat pekebun yang pada gilirannya bisa mengembangkan produksi kakao, dan tentunya diharapkan berkontribusi bagi kesejahteraan petani.

Hal ini juga dilakukan dengan tujuan agar pekebun mempunyai relevansi ke pasar, dan mereka merasakan langsung kenaikan dan penurunan penjualan di suatu masa tertentu, sehingga lebih mempunyai peran aktif dalam pengembangan kualitas produksi.

Tuntutan pasar atau konsumen juga perlu dicermati. Saat ini, baik untuk produksi umum apalagi fine flavor cocoa (cokelat dengan rasa tertentu), kakao yang diproduksi haruslah bisa memenuhi standar kualitas dan rasa tertentu.

Hal yang sangat menguntungkan dari hasil roasting biji cokelat Ransiki ini adalah ditemukannya rasa yang sangat luar biasa enak dan unik. Cokelat Ransiki ternyata memiliki karakter rasa umami. Rasa ini, ketika dikonsumsi merangsang semua reseptor rasa di lidah. Orang yang memakannya akan merasakan rasa gurih, creamy, earthy dan masih banyak lagi.

Selain itu, walaupun tanpa ditambahkan susu, rasa cokelat Ransiki seakan-akan sudah memiliki rasa susu yang mudah meleleh di mulut, karena menggunakan cocoa butter (mentega cokelat) alami didalamnya. Karenanya, walaupun kadar cokelatnya 72 persen dari satu chocolate bar Ransiki, namun cokelat ini memiliki rasa pahit yang cukup mild, tidak seperti dark chocolate pada umumnya.

Tuntutan pasar lainnya adalah kakao yang diproduksi harus lebih memperhatikan unsur perlindungan lingkungan dan sosial. Dalam konteks lingkungan hidup (seperti juga Cocoa and Forest Initiative di tingkat global), pengelolaan budidaya kakao di Ransiki diharapkan tidak menimbulkan kebakaran lahan, degradasi hutan dan ekosistem lainnya, apalagi deforestasi (penggundulan hutan).

Penyangga hutan

Satu peluang yang menarik di Ransiki adalah budidaya kakao bisa dianggap sebagai buffer (penyangga) Pegunungan Arfak, yang sekaligus merupakan hutan asri dan habitat bagi satwa endemic seperti burung cenderawasih Vogelkop.

Budidaya kakao di daerah penyangga ini bisa disinergikan dengan perlindungan hutan, dengan mengusung model peningkatan produktivitas sekaligus perlindungan hutan (production-protection), terutama dengan sistem agroforestry yang tepat. Pekebun kakao yang produktif dan peduli lingkungan, pada gilirannya dapat menjadi penjaga hutan yang sangat efektif.

Lebih lanjut, model production-protection ini bila dikembangkan secara baik akan sangat menarik bagi investor dan pembeli non-konvensional atau investor hijau yang memang selalu ingin melihat sisi dampak positif lingkungan yang bisa dipromosikan di pasar nasional dan apalagi dunia.

Namun, model ini memerlukan kerjasama banyak pihak dan komitmen nyata. Terlebih, bila semua pihak bisa memastikan bahwa pengembangan komoditas kakao di kawasan penyangga menjadi produktif dan mempunyai nilai tambah dan sekaligus memastikan pekebun kakao tidak melebarkan cakupan lahannya ke dalam hutan ataupun mengganti tanaman kakaonya menjadi tanaman lainnya yang lebih ekspansif.

Pemberdayaan

Tuntutan pasar lainnya biasanya fokus ke aspek sosial. Dalam pengembangan kakao yang berkelanjutan, suatu model yang dikembangkan di Ransiki dan tempat lainnya di Indonesia harus mencakup aspek pengembangan masyarakat setempat, pemberdayaan perempuan, pengentasan kemiskinan dan/atau malnutrisi.

Tuntutan ini sebenarnya sangat relevan dengan keinginan masyarakat asli Papua, yang ingin agar pengembangan komoditas atau ekonomi di tempat mereka hidup bukan hanya menyejahterakan masyarakat namun juga memberikan kebanggaan dan meningkatkan harga diri masyarakat Papua.

Penguatan koperasi, kelembagaan masyarakat kampong dan adat, dukungan pemerintah setempat dan pelaku usaha serta mitra pembangunan di Ransiki dan sekitarnya menjadi kunci sehingga model yang dikembangkan saat ini bisa berkontribusi kepada tujuan mulia di atas.

Terlebih lagi, model tersebut, bila berhasil, bisa kemudian direplikasi atau dikembangkan di skala yang lebih luas untuk menjamin cakupan konsep untuk sektor kakao berkelanjutan diadopsi oleh banyak pihak. Dukungan masyarakat luas, bahkan sampai pembeli juga penting untuk memastikan keberlanjutan upaya ini.

Secara jelas terlihat bahwa untuk memastikan keberhasilan dan keberlanjutan pengembangan model kakao atau cokelat Ransiki, aspek peningkatan produktivitas sekaligus perlindungan sosial dan lingkungan perlu didorong secara seimbang dan didukung banyak pihak.

Cokelat Ransiki hanyalah suatu model awal untuk mendorong kemitraan tersebut, yang mengaitkan pekebun, pelaku usaha, pemerintah dan mitra pembangunan. Ransiki, di Kabupaten Manokwari Selatan, Provinsi Papua Barat, bisa menjadi pemimpin dalam upaya transformasi menuju kakao lestari di negeri tercinta ini.

Indonesia, sebagai negara produsen kakao penting di dunia, dan semua yang terlibat –dari pekebun sampai konsumen– mempunyai kesempatan memastikan transformasi positif di sektor kakao terus berlanjut lewat inovasi-inovasi dan model-model yang diterapkan di Ransiki dan di sentra kakao di seluruh nusantara.

Jadi, ketika menikmati cokelat yang terhidang di meja, bukan hanya nikmatnya cokelat yang dirasakan, namun juga memberikan senyum bagi pekebun Indonesia dan juga lingkungan dan ekosistem alami tetap asri dan terjaga.

Pesan pengelolaan alam dari Isra’ Mi’raj

Antara News, 26 Maret 2019

Oleh Fitrian ArdiansyahKetua Pengurus dan Direktur Utama IDH-Inisiatif Dagang Hijau

Original link: https://www.antaranews.com/berita/815646/pesan-pengelolaan-alam-dari-isra-miraj

Indonesia diberkahi dengan keberagaman agama dan budaya dan karenanya banyak hari besar keagamaan yang dirayakan oleh anak bangsa. Namun banyak yang bertanya, apakah hari-hari besar agama yang sarat makna tersebut, seperti Isra’ Mi’raj, bukan hanya telah memperkaya keberagaman kita tetapi sudah menghasilkan dampak positif secara nyata dalam kehidupan sehari-hari?

Isra’ Mi’raj berlatar belakang perjalanan seorang manusia utama dalam Islam, Nabi Muhammad SAW, yang diberangkatan oleh Allah SWT dari Masjidil Haram di Mekkah menuju Masjidil Aqsa di Yerusalem kemudian dilanjutkan ke Sidratul Muntaha. Pada jamannya – sekitar Tahun 620 M – perjalanan ini tergolong luar biasa dikarenakan mode transportasi seperti pesawat yang belum ditemukan.

Banyak umat muslim memperingati hari bersejarah ini dengan berbagai acara, dari pengajian setingkat majelis taklim atau sampai tabligh akbar. Pembahasan tentang Isra’ Mi’raj seringkali bertema tentang shalat ataupun mukjizat yang dialami Nabi SAW.

Sayangnya, ada aspek penting lainnya dalam kejadian Isra’ Mi’raj yang sangat jarang diungkap, yaitu aspek apresiasi atau tafakur pada alam dan implikasinya untuk muslim dalam mengelola alam atau lingkungan yang bijak dan bertanggung jawab.

Padahal aspek ini jelas tercatat dalam Al Qur’an (QS 17:1), “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

Fazlun M. Khalid, pendiri Islamic Foundation for Ecology and Environmental Science (IFEES) lebih dari satu dekade yang lalu, menyatakan bahwa penggunaan kata-kata “tanda-tanda kebesaran (Ayat) Allah” dalam Al Qur’an, termasuk ayat di atas, sering merujuk kepada “fenomena alam” dan/atau “lingkungan”.

Di Al Qur’an (QS 16:65), Allah SWT menegaskan hal ini, “Dan Allah menurunkan dari langit air (hujan) dan dengan air itu dihidupkan-Nya bumi sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang mendengarkan (pelajaran)”. Hal serupa juga dinyatakan pada ayat-ayat lanjutannya (QS 16:66-69).

Bahkan di beberapa kesempatan, dalam peristiwa Isra’, apresiasi terhadap alam atau lingkungan juga diberikan tingkat yang tinggi sehingga digunakan sebagai perumpaan para mujahidin (orang yang berjuang di jalan Allah).

Alkisah, ketika Nabi SAW melakukan perjalanan Isra’, beliau melihat orang-orang yang menanam tumbuhan sekaligus memanen hasilnya hanya dalam waktu dua hari, dan setiap selesai memanen, stok tumbuhannya akan kembali seperti sebelum panen terjadi. Beliau menanyakan hal ini kepada Malaikat Jibril AS, yang kemudian menjawab bahwa orang-orang tersebut adalah para mujahidin yang berjuang di jalan Allah dan setiap pengeluaran yang mereka lakukan akan dikembalikan berkali-lipat oleh-Nya.

Sayangnya, kita sering khilaf mengapresiasi atau bahkan mengelola alam atau lingkungan secara bijak dan kita masukkan ke dalam keseharian ibadah ataupun perilaku hidup kita.

Padahal, kepedulian kepada alam merupakan “ruh” yang tak terpisahkan dari tanggung jawab manusia diciptakan di bumi. Cendekiawan muslim Sayyed Hossein Nasr menulis bahwa di dalam Islam manusia merupakan wakil Allah (khalifah) yang mendapatkan kepercayaan (amanah) dari-Nya untuk menjaga bumi dan hidup secara harmonis dengan makhluk-makhluk ciptaan-Nya yang lain (1997).

Atribut “khalifah” yang dilekatkan kepada “manusia” menunjukkan bahwa alam bukanlah milik kita sehingga kita dapat berbuat seenak hati, melainkan amanah dari Allah untuk kita menjaganya.

Tugas sebagai pelindung bumi ini diperjelas dalam QS 6:165, “Dan Dialah yang menjadikan kamu pelindung-pelindung bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Di samping sebagai khalifah, manusia dilengkapi dengan fungsi pelayan (al ‘ubudiyah) atau hamba Allah. Sebagai pengabdi atau hamba-Nya (abdullah), manusia dituntut untuk patuh dan taat terhadap semua perintah Allah termasuk menjaga keseimbangan di alam.

QS Ar-Rahman (55:1-7) menguatkan hal ini, “(Tuhan) Yang Maha Pemurah. Yang telah mengajarkan al Qur’an. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara. Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan. Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan kedua-duanya tunduk kepada Nya. Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keseimbangan)”.

Hilangnya “ruh” kepedulian terhadap alam atau lingkungan pada gilirannya mendorong aktivitas manusia yang tidak lagi mengindahkan dampak negatif yang terjadi pada lingkungan.

Sebagai umat beragama terbesar di Indonesia, umat muslim saat ini harus dihadapkan dengan fakta bahwa “kiamat-kiamat kecil – seperti banjir, longsor, kebakaran hutan, sampah plastik dan pencemaran air dari industry – telah seringkali terjadi akibat lalainya kita menjaga dan melestarikan lingkungan”. Keseimbangan yang dititahkan Al Qur’an sudah terganggu karena khilafnya kita sang khalifah.

Allah SWT secara tegas telah mengingatkan hal ini dalam QS 30:41, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.

Tentunya, sudah banyak kebijakan positif digulirkan oleh pemerintah termasuk dalam perlindungan hutan, penanganan dan pencegahan kebarakan hutan dan lahan, penguranan sampah dan penggunaan plastik. Sudah banyak pula inisiatif dari pihak swasta dan masyarakat yang berkontribusi dalam pengelolaan lingkungan secara nyata termasuk mendorong pengelolaan lahan menjadi lebih produktif sekaligus berkontribusi terhadap perlindungan dan restorasi hutan sekitar.

Hal ini tentunta perlu diapresiasi dan diperkuat. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Letjen TNI Doni Monardo, secara jelas di awal tahun mengajak masyarakat untuk terus peduli terhadap lingkungan. Menurut beliau, Indonesia bisa dikategorikan sebagai “supermarket” bencana. Korban jiwa di Indonesia (2018) mencapai lebih dari 4.000 orang.

Tantangannya, menurut beliau, kita semua belum menyikapi pengelolaan lingkungan dengan baik. Di kawasan rawan longsor, pembangunan kita cenderung memberikan beban tammbahan sehingga risiko longsor menjadi lebih parah, ditambah kecenderungan banyak pihak yang belum menghargai hutan, sungai dan sempadannya.

Tentunya sekarang kita semua sepatutnya saling mengingatkan untuk lebih mengapresiasi, mengasihi, dan melindungi alam atau lingkungan yang semestinya merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam ibadah dan tanggung jawab kita sebagai hamba-Nya.

Semoga kita tidak perlu menunggu lagi untuk terus diingatkan dari satu kejadian bencana lingkungan ke bencana lainnya, yang pada gilirannya sudah menimbulkan korban sesama manusia.

Peringatan Allah secara jelas telah tertuang dalam QS 28:77, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.

Nabi SAW, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad, juga telah memberikan panutan yang bijaksana kepada kita dengan mengatakan, “Jika seseorang mempunyai sebibit kurma ditangannya pada hari terakhir di dunia, maka ia berkewajiban menanamnya.”

Semoga kita semua ingat akan QS Ar-Rahman, di mana sebanyak 30 kali manusia diingatkan, “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”.

Rethinking renewable energy targets and electricity sector reform in Indonesia: A private sector perspective

Published in Renewable and Sustainable Energy Reviews, Volume 101, March 2019, Pages 231-247

By Martha Maulidia a), Paul Dargusch a), Peta Ashworth b), and Fitrian Ardiansyah c)

Full pdf of the journal article can be downloaded at https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S1364032118307378

Abstract

Renewable energy targets announced in 2014 present an opportunity to reform Indonesia’s electricity sector which is dominated by fossil fuels. In this paper we discuss Indonesia’s current renewable energy policies and future outlook for achieving the targets. This paper serves as a literature review of Indonesia’s changing energy policy landscape, as part of a broader research investigating renewable energy targets and the role of the private sector. Despite Indonesia’s wealth of renewable energy resources, numerous studies have identified multiple constraints to the development of renewable energy, including geographical, institutional and investment factors. Influential groups are calling for the Indonesian Government to put in place a clear policy framework that facilitates private sector investment. Therefore, interventions to facilitate investment in energy infrastructure in Indonesia must address the monopolised power market system that oversees a changing, complex malaise of electricity pricing regulations which make investment risky and uncertain. This study will enrich the existing literature on renewable energy policy which emphasises the importance of engaging the private sector. It is based on a rigorous qualitative assessment of Indonesia’s changing policy that affects the progress of the renewable energy targets. The lessons from Indonesia’s experience may provide insights for policymakers notably in developing countries.

Keywords: energy in Indonesia, private sector investment, renewable energy

a School of Earth and Environmental Sciences, The University of Queensland, Brisbane, Australia
b School of Chemical Engineering, The University of Queensland, Brisbane, Australia
c IDH The Sustainable Trade Initiative Indonesia, Jakarta, Indonesia

Farmer organization as the backbone of agro-sustainability

PISAgro News, May 2017, Issue No 15, pp. 2-4

By Fitrian ArdiansyahIndonesia country director of IDH-Sustainable Trade Initiative

Original link: http://pisagro.org/images/uploadsfiles/FA-PISAGRO-Newsletter%2315-May’16.pdf

Nestle Farmers.jpg
IDH supported Nestle’s coffee farmers through Nescafe Better Farming Practices Program

Given the fact that most of the 40 million workers in the agriculture sector are small farmers, and they are facing with recurrent challenges of low levels of productivity and profitability due to a lack of access to market and financing, the notion of strengthening farmer organizations has become imperative.

Reaching sustainable agriculture goals, comprising improved productivity, protection of the surrounding ecosystems and ensured welfare of farmers, is challenging unless farmers’ capacity and knowledge on good agricultural practices are improved. Such improvement is difficult to be facilitated without strong farmer organizations.

IDH-Sustainable Trade Initiative, in collaboration with partners, believe that innovations in supply chain sustainability require professional farming practices. Our approaches and pilots have shown that such farming practices can only be applied if strong farmer organizations are at the heart of our sustainable business model and values.

In our coffee program, with PT Asal Jaya(1) in Malang for example, efforts to strengthen farmer organizations is considered as a key intervention. These efforts focus on providing institutional support that will lead to the development of Sustainable Agriculture Business Cluster (SABC).

When different farmer organizations are aggregated further into an SABC, they will be perceived to be having an economic of scale. Such scale would help them access finance from financial institutions (FIs). They can also easily sell coffee bean in a bulk way with a relatively better price and as trade-off, receive good agriculture practices (GAPs) and good management practices (GMPs) including accounting system literacy from the company and organizations like IDH.

This type of aggregated farmer organizations would provide a greater opportunity for farmers to get support from off-takers or other organizations to secure legal entity over their lands. Off-takers would see an increased credibility of such organizations and reduced risks in investing in these farmers. As many have known, without legal entity, farmers would have difficulty in getting a deal or financial support from banks.

The presence of good farmer organizations with the support of off-takers and other organizations can help farmers gradually demonstrate that they can improve or have improved their practices shown by results over a particular period. In a good farmer organization, documentation of farming process and accounting system is usually the norm.

Strengthening farmer organizations, nevertheless, is not an easy task. Often farmers are unwilling to be grouped in an organization such as a cooperative. Innovation or slightly different approach is sometime required.

As an example, in our palm oil program in North Sumatra, working with a state-owned company(2), a different model for farmer organizations has been introduced to support farmers to achieve Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) certification. The difference is that the organizations still consist of farmer groups (kelompok petani) but managed by traders.

This slightly different approach is chosen due to the fact that traders have many farmers under their wings (approximately several hundreds) and this has been perceived as a way to scale up the coverage of farmers in a sustainable supply chain of palm oil. In addition, with traders’ involvement and their staff in supporting farmers, they can also be seen as some forms of extension services, not only connecting farmers to the supply chain but also providing concrete support in forms of GAPs.

A similar approach has been done with Asian Agri(3) in Jambi, in which farmer organizations are supported through traders. In this case, traders are trained so that they can further help and reach out farmers with GAPs and GMPs. With the increased capacity of traders, they also are gradually equipped with good capacity in taking bigger responsibility in this sustainable supply chain.

A traditional type of farmer organizations such as cooperatives (e.g. Koperasi Unit Desa or KUD), nevertheless, is still crucial since KUD or a similar organization exist in almost every kabupaten (district) in Indonesia. For this reason, IDH also works with different corporate partners to show that strengthening KUD can bring about better benefit for farmers. The recent initiative in South Sumatra with IndoAgri London Sumatra shows that KUD can also be a good platform for palm oil farmers to achieve RSPO certification.

Farmer organizations and aggregation or clustering, to a large extent, can help farmers to increase their economic scale. Such “clustering”, however, needs to be done with tailor-made services, so that choices are also created for farmers since different types of farmers may require a different type of approaches and clusters.

One key lesson-learned in establishing such cluster is, at least, a principle of open and transparent farmer organizations should be upheld. This is critical so small farmers will see such organizations as a fair and just platform and can support their agenda of improved productivity and sustainability – not only the agenda of off-takers or traders.

The presence of strong and credible farmer organizations will not only provide a vehicle for improved productivity for farmers in a relatively scalable level, but also can be used to support farmers in promoting the agenda of environmental protection in a significant way.

Encroachment and conversion of forests and peat – and cultivating using fires – have been perceived as challenging issues when it comes to small farmers and deforestation and environmental protection. A good farmer organization can, to some extent, be an umbrella that develop a treaty or agreement for conservation of the remaining or surrounding forest and peat, equipped further with a good plan, investment and monitoring system.

Examples of fire-free villages – a joint-work between companies and villages to address forest and land fires across Indonesia – can be used to show that with an organization of villagers or farmers, actions to address (prevent or mitigate) fires are much easier to apply. Without clear farmer or villager organizations, a company, donor agency or government would have difficulty in pushing the agenda of fire prevention or other environmental protection.

In brief, the presence of strong, credible and accountable farmer organizations has become a necessity in sustainable agriculture. Such organizations would help farmers to develop a good business case at farmer level, improved provision of service delivery or extension services, and increase access to adequate and sufficient finance.

The immediate next step, as often the case, is to replicate, magnify and scale up models of good farmer organizations. PISAgro and its members, in this case, have the opportunity to transform such models into larger applicable platforms across Indonesia and in variety of commodities.

Endnote:

  1. The IDH’s work with PT Asal Jaya is entitled The Ecosystem Chain Scale in a Sustainable Coffee Smallholder Business in East Java. The period of work is between January 2016 to December 2020, targeting 15,000 farmers. Currently, around 3,400 farmers are part of the program. The focus of the program is to support farmer organizations, GAP and GMP practices, and farmers driven research.
  2. The work is with PTPN 3 with approximately 600 farmers to be supported but 59 will be certified soon under RSPO.
  3. The initial target of the work with Asian Agri is to support 10,000 farmers and now 6,000 farmers (around 30,000 ha) are part of the program. The program focuses interventions that can be categorized as “beyond certification” approach (not only aiming to achieve certification).

Feeding nation while protecting environment

The Jakarta Post, Thursday, 5 January 2017,

By Fitrian ArdiansyahIndonesia country director of IDH-Sustainable Trade Initiative

Original link: http://www.thejakartapost.com/academia/2017/01/05/feeding-nation-while-protecting-environment.html

2016_12_30_18720_1483095893._JP5January2017.jpg
Farmer works cultivating rice in the field (Antara/Berto, as shown in the Jakarta Post)

The year 2016 has just ended, but a question remains. Will countries, including Indonesia, be able to supply food for their growing populations, taking into account the constraints of our limited natural resources?

The global demand for food, fiber and fuel is on the rise. This demand needs to be matched while we also need to ensure that our resources, landscape and ecosystems will be sustainably managed for the long term. Several projections, including from the Directorate General of Food Crops in 2013, for example, reveal that Indonesia’s rice consumption would exceed its production starting in 2020, taking into account land availability and climate change.

Threats to food security will likely increase as the population continues to soar and economic activities develop, while land availability becomes more limited. Hence, improved productivity and technological developments are necessary.

Globally traded commodities produced in Indonesia, namely palm oil, coffee and cocoa, face similar challenges.

Palm oil is one of the most efficient crops but the productivity level in Indonesia, especially on small farmers’ lands, is still relatively low at 3.2 tons of crude palm oil (CPO) per hectare — the global average is between 4 and 5 tons.

If productivity and practices are not improved, the increased global demand for palm oil could lead to expansion and exploitation of the remaining forests and peat lands and potentially to forest and land fires.

However, a decree for conservation has been adopted by the government, which is in tandem with global markets that increasingly support sustainable products.

Land cultivated for palm oil needs replanting. In South Sumatra alone, between 2016 and 2021, replanting needs are estimated to be at least 270,000 hectares.

The investment required for oil palm replanting could reach US$5,000 per ha. A new financial plan is needed to support replanting, especially if it involves small farmers.

Without adequate finances and technical support for replanting, growers and farmers could opt to expand their palm oil cultivation to high risk areas, such as forests and peat lands.

Concerning cocoa and coffee, low productivity is a huge challenge as land is often managed and cultivated by small farmers.

Low productivity has trapped small farmers in a cycle of poverty and a cycle of debt. The inability of small farmers to access finances and sound agriculture practices has led to reduced quality of input which in turn produces a low level of output (quantity and quality).

Without a provision of better input, farmers will have difficulty meeting global standards — hence, their struggle to break into the global market.

Funding for farmers is even more challenging because financial institutions perceive giving loans to small farmers as a high risk.

This perception relates to the unclear land status of farmers, low capability and accountability of farmer organizations and existing debt by farmers.

Innovation could help farmers gain agriculture knowledge, input material, improve farmer organizations and reduce investment risks. This is key to producing more with less — more productivity with less environmental impact.

Models for this have been tested across the globe, including in Indonesia.

A good model usually consists of a supply chain company committed as a long-term off-taker of commodities supplied by farmers, a farmer organization or cooperative, a bank that provides a soft-loan for a cooperative with a grace period taking into account the harvesting cycle, a provider of seeds and input materials and a donor or private foundation that provides technical support for farmers.

Such models have been applied in Aceh for aquaculture, Riau, Jambi and South Sumatra for palm oil, Lampung for coffee and Sulawesi for cocoa.

Individual corporations, organizations and banks or multi-stakeholders’ platforms, such as Partnership for Indonesia Sustainable Agriculture (PISAgro), are examining these models in collaboration with a number of cooperatives and government agencies.

A model in just one supply chain may not be enough as there are many challenges and issues shared among different actors in different supply chains.

These shared issues include land legality, water and landscape management, fire prevention and energy provision and require a holistic approach beyond just one farm or supply chain.

In Musi Banyuasin district, South Sumatra, a supply shed approach led by its regent is being tested to support the development of integrated sustainable commodities, such as palm oil, rice, rubber and protecting forests and peat lands.

This approach has gathered the support of local government agencies, mills and local and international organizations to collaboratively help identify and map independent small farmers and their challenges.

A combination of segregated supply chain and integrated supply shed approaches with clear financial support and sound agriculture practices is one of the most effective ways to develop commodities while protecting our fragile ecosystem.

The bold part of this journey is to build on these approaches to increase investment, develop commodity production and protect larger areas.

It is time for Indonesia to demonstrate its ability to “produce more with less”.