Pesan pengelolaan alam dari Isra’ Mi’raj

Antara News, 26 Maret 2019

Oleh Fitrian ArdiansyahKetua Pengurus dan Direktur Utama IDH-Inisiatif Dagang Hijau

Original link: https://www.antaranews.com/berita/815646/pesan-pengelolaan-alam-dari-isra-miraj

Indonesia diberkahi dengan keberagaman agama dan budaya dan karenanya banyak hari besar keagamaan yang dirayakan oleh anak bangsa. Namun banyak yang bertanya, apakah hari-hari besar agama yang sarat makna tersebut, seperti Isra’ Mi’raj, bukan hanya telah memperkaya keberagaman kita tetapi sudah menghasilkan dampak positif secara nyata dalam kehidupan sehari-hari?

Isra’ Mi’raj berlatar belakang perjalanan seorang manusia utama dalam Islam, Nabi Muhammad SAW, yang diberangkatan oleh Allah SWT dari Masjidil Haram di Mekkah menuju Masjidil Aqsa di Yerusalem kemudian dilanjutkan ke Sidratul Muntaha. Pada jamannya – sekitar Tahun 620 M – perjalanan ini tergolong luar biasa dikarenakan mode transportasi seperti pesawat yang belum ditemukan.

Banyak umat muslim memperingati hari bersejarah ini dengan berbagai acara, dari pengajian setingkat majelis taklim atau sampai tabligh akbar. Pembahasan tentang Isra’ Mi’raj seringkali bertema tentang shalat ataupun mukjizat yang dialami Nabi SAW.

Sayangnya, ada aspek penting lainnya dalam kejadian Isra’ Mi’raj yang sangat jarang diungkap, yaitu aspek apresiasi atau tafakur pada alam dan implikasinya untuk muslim dalam mengelola alam atau lingkungan yang bijak dan bertanggung jawab.

Padahal aspek ini jelas tercatat dalam Al Qur’an (QS 17:1), “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

Fazlun M. Khalid, pendiri Islamic Foundation for Ecology and Environmental Science (IFEES) lebih dari satu dekade yang lalu, menyatakan bahwa penggunaan kata-kata “tanda-tanda kebesaran (Ayat) Allah” dalam Al Qur’an, termasuk ayat di atas, sering merujuk kepada “fenomena alam” dan/atau “lingkungan”.

Di Al Qur’an (QS 16:65), Allah SWT menegaskan hal ini, “Dan Allah menurunkan dari langit air (hujan) dan dengan air itu dihidupkan-Nya bumi sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang mendengarkan (pelajaran)”. Hal serupa juga dinyatakan pada ayat-ayat lanjutannya (QS 16:66-69).

Bahkan di beberapa kesempatan, dalam peristiwa Isra’, apresiasi terhadap alam atau lingkungan juga diberikan tingkat yang tinggi sehingga digunakan sebagai perumpaan para mujahidin (orang yang berjuang di jalan Allah).

Alkisah, ketika Nabi SAW melakukan perjalanan Isra’, beliau melihat orang-orang yang menanam tumbuhan sekaligus memanen hasilnya hanya dalam waktu dua hari, dan setiap selesai memanen, stok tumbuhannya akan kembali seperti sebelum panen terjadi. Beliau menanyakan hal ini kepada Malaikat Jibril AS, yang kemudian menjawab bahwa orang-orang tersebut adalah para mujahidin yang berjuang di jalan Allah dan setiap pengeluaran yang mereka lakukan akan dikembalikan berkali-lipat oleh-Nya.

Sayangnya, kita sering khilaf mengapresiasi atau bahkan mengelola alam atau lingkungan secara bijak dan kita masukkan ke dalam keseharian ibadah ataupun perilaku hidup kita.

Padahal, kepedulian kepada alam merupakan “ruh” yang tak terpisahkan dari tanggung jawab manusia diciptakan di bumi. Cendekiawan muslim Sayyed Hossein Nasr menulis bahwa di dalam Islam manusia merupakan wakil Allah (khalifah) yang mendapatkan kepercayaan (amanah) dari-Nya untuk menjaga bumi dan hidup secara harmonis dengan makhluk-makhluk ciptaan-Nya yang lain (1997).

Atribut “khalifah” yang dilekatkan kepada “manusia” menunjukkan bahwa alam bukanlah milik kita sehingga kita dapat berbuat seenak hati, melainkan amanah dari Allah untuk kita menjaganya.

Tugas sebagai pelindung bumi ini diperjelas dalam QS 6:165, “Dan Dialah yang menjadikan kamu pelindung-pelindung bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Di samping sebagai khalifah, manusia dilengkapi dengan fungsi pelayan (al ‘ubudiyah) atau hamba Allah. Sebagai pengabdi atau hamba-Nya (abdullah), manusia dituntut untuk patuh dan taat terhadap semua perintah Allah termasuk menjaga keseimbangan di alam.

QS Ar-Rahman (55:1-7) menguatkan hal ini, “(Tuhan) Yang Maha Pemurah. Yang telah mengajarkan al Qur’an. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara. Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan. Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan kedua-duanya tunduk kepada Nya. Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keseimbangan)”.

Hilangnya “ruh” kepedulian terhadap alam atau lingkungan pada gilirannya mendorong aktivitas manusia yang tidak lagi mengindahkan dampak negatif yang terjadi pada lingkungan.

Sebagai umat beragama terbesar di Indonesia, umat muslim saat ini harus dihadapkan dengan fakta bahwa “kiamat-kiamat kecil – seperti banjir, longsor, kebakaran hutan, sampah plastik dan pencemaran air dari industry – telah seringkali terjadi akibat lalainya kita menjaga dan melestarikan lingkungan”. Keseimbangan yang dititahkan Al Qur’an sudah terganggu karena khilafnya kita sang khalifah.

Allah SWT secara tegas telah mengingatkan hal ini dalam QS 30:41, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.

Tentunya, sudah banyak kebijakan positif digulirkan oleh pemerintah termasuk dalam perlindungan hutan, penanganan dan pencegahan kebarakan hutan dan lahan, penguranan sampah dan penggunaan plastik. Sudah banyak pula inisiatif dari pihak swasta dan masyarakat yang berkontribusi dalam pengelolaan lingkungan secara nyata termasuk mendorong pengelolaan lahan menjadi lebih produktif sekaligus berkontribusi terhadap perlindungan dan restorasi hutan sekitar.

Hal ini tentunta perlu diapresiasi dan diperkuat. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Letjen TNI Doni Monardo, secara jelas di awal tahun mengajak masyarakat untuk terus peduli terhadap lingkungan. Menurut beliau, Indonesia bisa dikategorikan sebagai “supermarket” bencana. Korban jiwa di Indonesia (2018) mencapai lebih dari 4.000 orang.

Tantangannya, menurut beliau, kita semua belum menyikapi pengelolaan lingkungan dengan baik. Di kawasan rawan longsor, pembangunan kita cenderung memberikan beban tammbahan sehingga risiko longsor menjadi lebih parah, ditambah kecenderungan banyak pihak yang belum menghargai hutan, sungai dan sempadannya.

Tentunya sekarang kita semua sepatutnya saling mengingatkan untuk lebih mengapresiasi, mengasihi, dan melindungi alam atau lingkungan yang semestinya merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam ibadah dan tanggung jawab kita sebagai hamba-Nya.

Semoga kita tidak perlu menunggu lagi untuk terus diingatkan dari satu kejadian bencana lingkungan ke bencana lainnya, yang pada gilirannya sudah menimbulkan korban sesama manusia.

Peringatan Allah secara jelas telah tertuang dalam QS 28:77, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.

Nabi SAW, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad, juga telah memberikan panutan yang bijaksana kepada kita dengan mengatakan, “Jika seseorang mempunyai sebibit kurma ditangannya pada hari terakhir di dunia, maka ia berkewajiban menanamnya.”

Semoga kita semua ingat akan QS Ar-Rahman, di mana sebanyak 30 kali manusia diingatkan, “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”.

Advertisement

Mencermati Nasib Hutan Indonesia Pada 2011

Dipublikasikan di ANTARA, Karkhas, 09 Jan 2011 21:55:19

Oleh Fitrian Ardiansyah*

Dalam pergantian tahun banyak yang berharap bahwa Indonesia akan menjadi lebih baik dari sebelumnya, termasuk tentunya keberadaan hutan yang menjadi lebih lestari dan terjaga.

Hutan di Indonesia merupakan salah satu yang terluas di dunia. Selama bertahun-tahun hutan kerap berfungsi sebagai salah satu mesin pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah, serta bertindak sebagai penyokong kehidupan masyarakat setempat dan adat.

Pada tahun 90-an, Indonesia dikenal sebagai pengekspor utama produk kayu lapis di dunia. Selain itu, negara ini juga mengekspor produk sektor kehutanan lainnya secara signifikan.

Tahun 1985, devisa yang dihasilkan dari ekspor produk sektor kehutanan mencapai 1,2 miliar dollar AS. Nilai ekspor ini kemudian naik pada 2003 menjadi sekitar 6,6 miliar dollar AS, atau sekitar 13,7 persen dari total ekspor non-migas Indonesia.

Meski pada 2009 dan 2010 penerimaan dari sektor industri kehutanan nasional turun, nilai ekspornya masih cukup besar yaitu mencapai 6,7 miliar dolar AS.

Hanya saja, keuntungan ekonomi yang diraup dalam bentuk nilai ekspor ini sering kali tidak tercermin ke dalam bentuk peningkatan kesejahteraan masyarakat yang hidup di sekitar hutan dan dampak lingkungan yang terjadi karena kerusakan dan kehilangan hutan.

Secara nasional, berdasarkan data Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), jumlah penduduk yang tinggal di desa hutan itu mencapai 33,5 juta jiwa dan diperkirakan hampir setengahnya masuk dalam kategori keluarga miskin.

Kehilangan dan kerusakan hutan yang berkontribusi terhadap bencana lingkungan, semisal banjir, kebakaran hutan dan lahan, kekeringan serta tanah longsor, mempunyai laju yang mengkhawatirkan.

Dari data Kementerian Kehutanan (Kemenhut) sendiri dan analisis akademis, tercatat bahwa laju kehilangan hutan di tahun 90-an merupakan yang tertinggi yaitu sekitar 1,87 juta hektare per tahunnya.

Data terbaru dari Kemenhut menunjukkan bahwa walaupun berkurang, laju kehilangan hutan masih mencapai 0,8 juta hektare per tahunnya, dari tahun 2006 ke 2008. Sedangkan hutan yang rusak terhitung seluas 59,7 juta hektare sampai tahun 2002.

Lalu, apakah harapan akan perbaikan pengelolaan hutan untuk lebih lestari hanya akan menjadi harapan kosong? Seharusnya tidak.

Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono pada 2010 berkomitmen menyelamatkan hutan alam yang masih tersisa di bawah naungan inisiatif REDD (pengurangan emisi gas rumah kaca dari pencegahan kehilangan dan kerusakan hutan).

Komitmen ini di sampaikan dalam bentuk janji presiden untuk menghentikan izin baru bagi aktivitas yang akan membuka hutan alam dan gambut sejak Januari tahun ini, seiring penandatangangan perjanjian bilateral antara Indonesia dan Norwegia untuk mendukung inisiatif REDD.

Januari 2011 sudah tiba dan kita memasuki Tahun Hutan Internasional yang dicetuskan PBB.

Satu tahun juga hampir terlampaui sejak penandatangan perjanjian bilateral REDD dan disampaikannya janji presiden tersebut.

Tahun ini, karenanya, adalah saat yang tepat untuk melihat apakah janji tersebut diwujudkan ke dalam produk hukum yang jelas dan tegas, mekanisme keuangan yang adil, dan program pembangunan yang menjamin terselamatkannya hutan alam dan gambut yang masih tersisa di bumi Nusantara.

Produk hukum yang jelas dan tegas ini sangat dibutuhkan, karena menurut hasil penelitian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dipublikasikan awal Desember tahun lalu, salah satu hal yang penting yang mendorong terjadinya korupsi dan kejahatan kehutanan adalah adanya ketidakjelasan dalam aspek hukum kehutanan.

KPK menemukan ketidakpastian definisi kawasan hutan dalam UU no. 41 tahun 2009, PP no. 44 tahun 2004, SK Menhut no. 32 tahun 2001, dan Permenhut no. 50 tahun 2009.

Situasi seperti ini memungkinkan terjadinya perlakuan memihak yang dapat dimanfaatkan untuk meloloskan pelaku pembalakan liar (illegal logging) dan penambangan ilegal dari jeratan hukum.

Selain itu, ketidakpastian ini juga menimbulkan tumpang tindih kewenangan dalam menentukan kawasan hutan antara pusat dan daerah terkait Rencana Tata Ruang Wilayah.

Temuan KPK lainnya menunjukkan lemahnya legalitas dan legitimasi penunjukan 88,2 persen kawasan hutan (lebih dari 105,8 juta ha) yang sampai saat ini pun sebenarnya belum seluruhnya selesai ditetapkan.

Keadaan semacam ini mengakibatkan pengelolaan ruang dan hutan di Indonesia rentan korupsi dan konflik yang pada gilirannya berujung kepada ketidakpastian hak dan ruang investasi serta tidak jelasnya pengelolaan kawasan hutan di lapangan.

Padahal agar tercapai pemanfaatan ruang yang optimal sekaligus menjaga hutan dan ekosistem penting yang masih tersisa, kepastian hukum menjadi syarat mutlak.

Karena tanpa kepastian hukum dengan didukung penegakannya yang sungguh-sungguh, investasi yang serius untuk membenahi pengelolaan hutan secara lestari dan pengelolaan ruang yang merangkum pihak swasta sekaligus masyarakat setempat dan adat sulit terwujud.

Kepastian hukum ini tentunya harus pula didukung oleh mekanisme keuangan yang adil dan program ekonomi yang secara kreatif meningkatkan nilai tambah bagi produk hutan.

Program ekonomi yang bukan saja berorientasi kepada devisa dari hasil ekspor produk kayu, tetapi juga kepada produk non-kayu dan jasa lingkungan sehingga menaikkan kesejahteraan ekonomi masyarakat setempat dan adat, sekaligus menjaga kelestarian hutan serta menekan bencana lingkungan.

Banyak yang menanti apakah janji yang diucapkan untuk penyelamatan hutan Indonesia terwujud mulai tahun ini?

*Fitrian adalah Penerima Australian Leadership Award dan Allison Sudradjat Award, Penasihat Program Perubahan Iklim dan Energi, WWF-Indonesia, dan Kandidat Doktor di Australian National University

Original link: http://www.antarajatim.com/lihat/berita/52788/mencermati-nasib-hutan-indonesia-pada-2011

Makna Kesepakatan Cancun Bagi Penanggulangan Perubahan Iklim

Diterbitkan di ANTARA News, Senin, 27 Desember 2010 09:49 WIB |

Fitrian Ardiansyah *)

Canberra (ANTARA News) – Setelah banyak yang kecewa dengan hasil perundingan perubahan iklim di Kopenhagen pada Desember 2009, perundingan lanjutan yang berlangsung di Cancun, Meksiko, pertengahan Desember 2010 menghembuskan napas segar.

Perubahan iklim yang berskala dunia tidak dapat dicegah dan ditanggulangi tanpa kesepakatan yang mengikat dari warga dunia yang diwakili oleh pemerintahan dari semua negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim di Cancun, Meksiko, merupakan kali ke-16 bagi negara-negara bernegosiasi di bawah Kerangka Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim.

Salah satu komponen krusial yang dibahas adalah pengaturan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dari negara-negara maju setelah tahun 2012.

Secara alami, permukaan bumi diselimuti oleh selubung tipis GRK seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan gas lainnya. Selimut tipis GRK ini sangat penting karena menjaga bumi tetap hangat –mengatur pantulan radiasi matahari secara alami.

Hanya saja, aktivitas ekonomi dan keseharian manusia, seperti dari penggunaan bahan bakar minyak bumi dan batu bara untuk listrik dan industri, serta karena penggundulan dan kebakaran hutan dan lahan, menghasilkan emisi gas rumah kaca yang kian hari kian “mempertebal” selimut GRK di atmosfer.

Bila konsentrasi GRK terus meningkat, lapisan GRK di atmosfer ini akan menghalangi sebagian radiasi panas matahari yang semestinya kembali ke luar angkasa, malah dipantulkan balik ke bumi yang menyebabkan bumi semakin panas!

Sampai saat ini selain dari Konvensi, PPB mempunyai perjanjian yang mengikat yang dikenal sebagai Protokol Kyoto. Namun, Protokol ini baru mengatur periode pertama (2008-2012) penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dari negara-negara maju sekitar 5 persen dari tingkat emisi tahun 1990.

Oleh karena itu dibutuhkan perjanjian yang mengatur keberlanjutan periode kedua dari Protokol Kyoto serta perjanjian baru yang mengatur seluruh negara untuk secara wajib maupun sukarela mempunyai penurunan emisi besar-besaran.

Berdasarkan penelitian IPCC (Panel antar Pemerintah untuk Perubahan Iklim), melalui perundingan di tingkat PBB kenaikan suhu rata-rata muka bumi diharapkan tidak akan melebihi 2 derajat Celsius, suatu ambang batas yang masih dianggap aman dan belum menimbulkan dampak parah akibat perubahan iklim.

Untuk mencapainya, negara-negara maju berkewajiban menurunkan emisi GRK sekitar 25 hingga 40 persen pada tahun 2020 dibandingkan tingkat emisi tahun 1990.

Sementara itu, negara-negara berkembang secara sukarela menurunkan emisi sekitar rata-rata 30 persen dibandingkan grafik proyeksi pembangunan seperti layaknya saat ini.

Paket perlindungan iklim (Climate protection packages) atau sebagai hasil yang dicapai pertengahan Desember 2010 di Cancun memberikan landasan dasar untuk tercapainya kesepakatan dunia yang lebih mengikat untuk penanggulangan perubahan iklim, yang diharapkan keputusan akhirnya bisa dicapai di KTT Perubahan Iklim Desember 2011 di Durban, Afrika Selatan.

Contohnya, negara-negara maju yang terikat di dalam Protokol Kyoto secara lebih tegas mengakui tentang perlunya penurunan emisi GRK sekitar 25 hingga 40 persen pada 2020 dibandingkan tingkat emisi tahun 1990.

Hanya tinggal Jepang dan Rusia yang masih belum sepakat akan hal ini.

KTT Cancun juga menghasilkan kesepakatan akan unsur-unsur penting yang diperlukan untuk mencapai kesepakatan yang lebih menyeluruh terutama dalam aspek pengukuran (measurement), pelaporan (reporting), dan verifikasi (verification) atau MRV dari pengurangan emisi GRK dan sokongan pendanaan.

Hal ini sangat penting  karena aspek-aspek MRV yang akan menentukan apakah masyarakat dunia benar-benar bisa dan tepat menurunkan emisi, dan apakah memang tersedia dana untuk mendukung upaya tersebut.

Selain itu, yang juga berdampak penting untuk Indonesia sebagai negara kepulauan, KTT di Cancun berhasil membentuk Komite Adaptasi. Bagi negara-negara yang kemungkinan terkena dampak parah dari perubahan iklim, kerja komite ini sangatlah ditunggu.

Hasil yang cukup menggembirakan lainnya adalah disepakatinya “pendanaan hijau tingkat dunia yang baru” (a new global green fund). Skema pendanaan ini menjadi penting dikarenakan penanggulangan perubahan iklim di seluruh dunia tentulah tidak murah dan mudah.

Bagi sebagian negosiator dan anggota Delegasi Republik Indonesia dan penggiat lingkungan di tanah air, salah satu hasil yang ditunggu adalah tentang REDD+ (pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan).

Di Cancun, REDD+ disepakati sebagai bagian integral penanggulangan perubahan iklim dan kesepakatan mengenai REDD+ memberikan landasan kuat untuk terus membangun program REDD+ yang lebih kredibel terutama di negara-negara yang mempunyai hutan tropis seperti Indonesia.

Setelah bernegosiasi selama dua pekan sejak awal Desember 2010, banyak perkembangan yang menggembirakan yang dicapai di Cancun, Meksiko.

Tetapi, pekerjaan berat masih menanti di 2011 karena perjanjian atau kesepakatan yang mengikat masih harus diperjuangkan sampai di Durban, Afrika Selatan nanti.

Kepemimpinan yang lebih nyata perlu dicontohkan oleh negara-negara besar terutama dari Uni Eropa, Amerika Serikat (AS), India dan Cina, termasuk Indonesia.

Negara-negara ini, terutama Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya, mempunyai peran untuk membuktikan bahwa komitmen pengurangan emisi dalam negerinya berkontribusi nyata untuk memastikan bahwa kenaikan suhu rata-rata muka bumi tidak melebihi 2 derajat Celsius.

Bagi Indonesia, komitmen yang disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menurunkan emisi GRK perlu diterjemahkan secara lebih serius ke dalam bentuk rencana dan program pembangunan nasional yang mencakup antar-sektor dan daerah.

Komitmen itu juga perlu diikuti dengan rencana adaptasi yang lebih nyata sehingga masyarakat Indonesia siap menghadapi dampak perubahan iklim yang sudah semakin sering menyambangi.

Dengan rencana dan program nasional untuk pengurangan emisi dan adaptasi perubahan iklim yang didukung sektor dan daerah, Pemerintah Indonesia bukan hanya dapat berunding di tingkat PBB secara lebih percaya diri, tetapi juga membuktikan kepada rakyatnya bahwa Indonesia serius dalam menanggulangi masalah ini.

*) Fitrian Ardiansyah adalah Penerima Australian Leadership Award dan Allison Sudradjat Award, Penasihat Program Perubahan Iklim dan Energi, WWF-Indonesia, dan Kandidat Doktor di Australian National University.

Original link: http://www.antaranews.com/berita/1293418189/makna-kesepakatan-cancun-bagi-penanggulangan-perubahan-iklim