Earth Hour, Hemat (Listrik) Pangkal (Bumi) selamat

Koran Tempo, Jumat 26 Maret 2010, Halaman B5

Oleh: Muhamad Suhud dan Fitrian Ardiansyah*)

Belum muncul sesuatu yang istimewa dari perhelatan akbar bulan Desember 2009 lalu terkait dengan Perubahan Iklim di Kopenhagen Denmark. Secarik kertas catatan yang dihasilkan memang sudah menekankan pentingnya upaya global untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Namun hal ini belum menyentuh masalah utama yang lebih konkrit untuk melakukan pengurangan emisi, khususnya dari negara-negara maju.

Nasib bumi kian terancam akibat perubahan iklim. Tidaklah patut kemudian kita menjadi pesimis karena sebuah inisiatif global sebagai simbol penanggulangan perubahan iklim yang dilakukan oleh individu, kalangan bisnis, pemerintah dan komunitas di seluruh dunia kembali mendatangi – Earth Hour.

Selama 1 (satu) jam – pada Sabtu, 27 Maret 2010, mulai pukul 20.30 – kita diajak untuk memadamkan lampu di luar rumah dan gedung dan lampu serta alat-alat elektronik yang tidak dipakai.

Earth Hour ini merupakan kampanye global yang dimulai pada 2007 dan telah berhasil mengajak jutaan orang untuk berpartisipasi. Bahkan pada 2009, miliaran orang telah turut ambil bagian di 4000 kota di 88 negara di dunia.

Kota Jakarta untuk kedua kalinya akan berpartisipasi dalam kampanye Earth Hour ini. Gedung-gedung dan monumen khas Jakarta, seperti Monumen Nasional, Balaikota dan Bundaran Hotel Indonesia dan banyak gedung di kawasan segitiga emas, tahun lalu sukarela memadamkan dan akan padam lagi pada saat jam tersebut.

Lalu, apa makna dibalik gelap satu jam tersebut? Sebagian besar permintaan listrik di Indonesia berada di Jawa, dengan pangsa terbesar berturut-turut berada pada wilayah distribusi Jawa Barat dan Banten (35 persen) serta DKI Jakarta dan Tangerang (30 persen).

Ironisnya, masih banyak masyarakat yang belum mendapat akses ke energi modern, terutama masyarakat yang berada di daerah pedesaan. Sedangkan masyarakat yang sudah mendapatkan akses, yang sebagian besar berada di wilayah perkotaan, justru cenderung boros dalam pemanfaatannya.

Selain itu, porsi pemakaian Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam sistem pembangkitan listrik PLN sampai saat ini masih sangat besar. Komposisi penggunaan BBM semakin meningkat hingga mencapai 70,7 juta SBM (setara barel minyak) atau sekitar 10,7 juta kilo liter atau 36,6% dari total bauran bahan bakar pembangkit pada 2007.

Hal ini disebabkan oleh kondisi geografis Indonesia sebagai Negara kepulauan serta pembangunan infrastruktur yang terbatas dan terfokus di Jawa yang menyebabkan daerah yang jauh dari pusat beban sangat tergantung pada BBM dalam memenuhi kebutuhan listriknya.

Jumlah pembangkit listrik dengan BBM untuk memenuhi kebutuhan listrik di luar Jawa mencapai hampir 67 persen pada 2007. Disamping itu, peran pembangkit BBM sebagai pemikul beban puncak juga berkontribusi pada ketergantungan sektor listrik terhadap BBM.

Karena itu, sektor listrik menjadi salah satu penyumbang utama dari emisi karbon dioksida untuk sektor energi. Salah satu langkah penting untuk melakukan mitigasi perubahan iklim dari sisi permintaan listrik adalah dengan melakukan Demand Side Management (DSM). Upaya ini merupakan kegiatan atau strategi untuk mengelola pemakaian energi listrik di sisi pelanggan melalui berbagai program.

Pemilihan bentuk program DSM yang tepat harus disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai. Salah satu program DSM yang dapat dilaksanakan adalah penggunaan lampu hemat energi, dengan tingkat efisiensi cukup besar sekitar 10-30 persen. Program ini ditujukan untuk meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap efisiensi energi dan juga untuk mengurangi konsumsi listrik pada konsumen rumah tangga melalui penggunaan compact fluorescent lamps (CFL) menggantikan lampu pijar biasa.

Ada beberapa tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan konservasi dan efisiensi energi. Pertama, paradigma yang berkembang di masyarakat bahwa Indonesia adalah negara yang kaya akan minyak dan gas bumi padahal kenyataannya cadangan dalam negeri semakin menipis.

Kedua, harga energi yang murah (karena mendapat subsidi) mempengaruhi pola konsumsi yang lebih boros. Padahal, beban pengeluaran negara untuk subsidi harga energi sangat besar dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (realisasi subsidi listrik dan BBM 2008 mencapai 24 persen dari total pengeluaran negara).

Kampanye Earth Hour 2010 nanti bisa dijadikan sebuah wake up call bagi banyak pihak untuk menata ulang konsumsi listriknya. Pemerintah bisa menyiapkan langkah-langkah yang terukur untuk mencapai pertumbuhan yang rendah karbon dan bagi masyarakat dapat tersadarkan bahwa implikasi atas konsumsi listriknya berpengaruh terhadap pemanasan global.

*) Suhud adalah Koordinator Energi, sedangkan Fitrian adalah Direktur dari Program Iklim & Energi WWF-Indonesia.

Advertisement

Simple act, big impact: Earth Hour

Fitrian Ardiansyah ,  Contributor ,  The Jakarta Post   |  Tue, 03/23/2010 11:35 AM  |  Environment

A first for Jakarta: A banner on Jl. Sudirman in Central Jakarta reminds residents to observe Earth Hour by switching off all electronic appliances and lights Saturday, from 8:30 p.m. to 9:30 p.m. JP/Ricky YudhistiraA first for Jakarta: A banner on Jl. Sudirman in Central Jakarta reminds residents to observe Earth Hour by switching off all electronic appliances and lights Saturday, from 8:30 p.m. to 9:30 p.m. JP/Ricky Yudhistira

Climate change is attributable to human activities. Primary solutions, therefore, need to come from humans, from changes in individual behavior.

The world’s leading climate scientists, the  Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), state that changes in the atmosphere, the oceans, glaciers and ice caps now show unequivocally that the world is warming due to human activities.

This human-induced climate change will profoundly affect water and other natural resources, biodiversity and the economy of the globe, including across Indonesia, which, in turn, will have negative impacts on rural and urban populations across the country.

Andrea Liverani, in a background paper to the World Bank’s World Development Report 2010, suggested that when it comes to discussing climate change, solutions are normally cast in the realms of finance and technology and perceived big actors (e.g. governments and corporations), often neglecting the primal root of the problem: Individual behavior.

Changing human behavior, hence, is an essential part to tackling climate crisis.

This is true given the multitude of consumption patterns of human beings over centuries that have created enormous by-products, i.e. greenhouse gas (GHG) emissions causing climate change.

Our global consumption has contributed to the release of 30 billion tons of carbon dioxide (CO2)
into the atmosphere in 2007, as recorded by the Organization for Economic Cooperation and Development/International Energy Agency (OECD/IEA).

For instance, public utilities — the companies responsible for providing humans with daily electricity and heat — emitted 36.3 percent of the total, followed by the transportation industry with 25.5 percent.

In industrialized countries, roughly 40 percent of GHG emissions result from decisions by individuals — travel, heating, and food purchases.

In developing countries like Indonesia, consumption patterns of individuals, both living inside and outside the country, have boosted its GHG emissions.

The fast-growing demand for Indonesia’s commodities (e.g. timber, palm oil, pulp and paper) and fossil-fuel-based energy fuels the rapid growth of the country’s GHG emissions.

This is why, as consumers, individuals on a global level and in Indonesia hold a reservoir of mitigation capacity.

Individuals may find it challenging to contribute to climate solutions, since climate change may
be perceived as a big and complicated issue with lots of unanswered questions.

Nevertheless, simple individual actions on climate change can take many forms, which eventually can lead to bigger positive impacts.

Various studies have suggested that making personal choices can be an effective method of fighting climate change.

These include adjusting our travel, diet, usage of electricity and related appliances, and management of waste.

Road transportation, in which our motor vehicles are an important part, globally produced 4.8 billion tons of CO2 or 16 percent of global carbon emissions. To reduce our emissions, we can aim to leave our car at home once a week, do a car pool, choose public transportation or ride a bicycle.

A low-carbon diet — choosing local organic food that causes much less pollution and emissions — is considered an effective way to make a meaningful change for individuals.

On average, households produce around 1.14 tons of waste per year and this contributes to GHG emissions, in particular from the release of methane — a potent GHG. Effective actions can include composting our food scraps, taking our own shopping bags and reusing our old stuff.

When it comes to electricity and electrical appliances, there is a potential to make a big difference by conducting energy efficiency and conservation measures.

The Japan International Cooperation Agency (JICA) in collaboration with different institutions found that Indonesia could be more energy efficient, by 10 to 30 percent for households, 10 to 23 percent for the commercial sector and 7 to 21 percent for the industrial sector .

In households and commercial buildings, a difference can be made by simply switching off or adjusting lighting and electrical appliances.

Many appliances use electricity even when they are in “standby” mode, between 1 and 20 watts, with most appliances using less than 5 watts — around 45 kilograms of GHG each year for each item.

To remind that individuals, on their own or collectively, can significantly contribute to tackling climate change, the World Wildlife Fund (WWF) and partners conceived the global movement of Earth Hour.

Earth Hour started in 2007 in Sydney, Australia when 2.2 million homes and businesses turned their lights off for one hour to make their stand against climate change.

A year later and in 2009, Earth Hour had become a global sustainability movement with more than hundreds of millions of people and 4,000 cities in 88 countries taking part.

Global landmarks such as the Sydney Harbor Bridge, the Golden Gate Bridge in San Francisco, the National Monument in Jakarta, and Rome’s Colosseum, all stood in darkness, as symbols of hope for a cause that grows more urgent by the hour.

This year, Earth Hour 2010 takes place on Saturday 27 March between 8:30 p.m. and 9:30 p.m. (local time). This is a global call to action to every individual, every business and every community throughout the world.

Jakarta will host this Earth Hour in Indonesia for the second year and hopefully other cities in this country will follow suit.

It is an excellent opportunity to reflect on this issue, but above all to begin a change of attitude toward reducing our energy consumption, and by doing so, contribute toward making a stand against climate change in the long term.


The writer is program director
of climate and energy at WWF Indonesia and adjunct lecturer at Paramadina Graduate School of Diplomacy. He can be reached at fardiansyah@wwf.or.id

Original link: http://www.thejakartapost.com/news/2010/03/23/simple-act-big-impact-earth-hour.html

Satu Jam Penyelamatan Bumi

Koran Jakarta, Sabtu, 28 Maret 2009

Oleh Fitrian Ardiansyah, Direktur Program Iklim dan Energi, WWF-Indonesia

versi pdf, klik di sini: SatuJamBumi_Fitrian_Ardiansyah_KoranJakarta_2009

Menyelematkan bumi dan mengatasi permasalahan lingkungan mungkin sering dipikir sebagai sesuatu yang sulit dan memberatkan. Earth Hour, satu aksi mematikan lampu dan peralatan elektronik yang tidak diperlukan selama satu jam, mencoba menangkis kesangsian ini.

Tahun ini, untuk pertama kalinya Earth Hour dilakukan di Indonesia. Bersama lebih dari 2000 kota di 80 negara, Jakarta dipilih menjadi kota pertama tempat penyelenggaraannya. Pada Sabtu malam, 28 Maret 2009, tepat pukul 20.30, masyarakat Jakarta akan menyaksikan dan menjadi bagian dari aksi global yang mana warga kotanya akan memadamkan lampu secara sukarela selama 1 jam.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan dipimpin oleh Duta Earth Hour-nya, Pak Fauzi Bowo, pada saat yang bersamaan, berpartisipasi mematikan lampu-lampu di bangunan bersejarah seperti Monumen Nasional (Monas) serta di beberapa ciri khas kota Jakarta lainnya, seperti Patung Pemuda, Jembatan Semanggi, Bundaran HI, Air Mancur Arjuna Wiwaha dan tak terkecuali kantor gubernur balaikota akan dipadamkan.

Dari sejarahnya, Earth Hour dimulai di Sydney, Australia, pada 31 Maret 2007, dengan didukung oleh Pemerintah Kota Sydney dan lebih dari 2,2 juta penduduk serta 2000 pelaku bisnis. Mereka berpartisipasi mematikan lampu dan peralatan elektronik mereka selama satu jam.

Inisiatif di kota ini berhasil menghemat energi sebesar 10,2% sehingga kemudian bergulir dan telah menginspirasi masyarakat dunia sampai dengan sekarang. Pada tahun 2008,  jumlah peserta Earth Hour mencapai 50 juta orang dari 370 kota di 35 negara.

Earth Hour mempunyai landasan pemikiran yang sederhana. Dengan kompleksitas isu pemanasan global yang menyebabkan pemanasan bumi secara global, banyak pihak yang bertanya tentang solusi sederhana, murah dan mudah akan permasalahan ini. Earth Hour memberikan jawaban terhadap hal ini, yaitu dengan ”semudah” mematikan lampu dan peralatan elektronik yang tidak diperlukan.

Setidaknya selama satu jam di Sabtu malam, 28 Maret 2009, pukul 20.30-21.30, penduduk bumi diajak secara simbolis untuk terlibat dalam Earth Hour. Hal ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa upaya penghematan energi dan penanggulangan perubahan iklim merupakan tanggung jawab bersama secara global.

Di Jakarta, kepemimpinan Gubernur Provinsi DKI Jakarta yang sekaligus bersedia menjadi Duta Earth Hour Indonesia memberikan sinyal positif sekaligus keteladanan bahwa penghematan energi dan penanggulangan perubahan iklim merupakan hal yang penting bagi Jakarta dan Indonesia. Hal ini juga dicontohkan oleh sederet pemimpin dunia lainnya seperti Archbishop Desmond Tutu, Raja Swedia, Presiden Finlandia, Walikota London, dan Perdana Menteri Malaysia, yang juga merupakan Duta Earth Hour.

Saat ini dukungan terhadap Earth Hour dari masyarakat ditunjukkan dengan tercatatnya lebih dari 17.000 orang mendaftarkan diri secara on-line untuk berpartisipasi. Selain itu sekitar lebih dari 50 pemilik/pengelola gedung di Jakarta juga mengkonfirmasi kesediaan berpartisipasi. Keteladanan yang ditunjukkan Gubernur, pemilik-pemilik gedung di kawasan pusat bisnis dan masyarakat Jakarta bisa jadi akan lebih menyemangati banyak indvidu untuk aktif berpartisipasi.

Menurut analisis yang dilakukan WWF-Indonesia, bila masyarakat Jakarta secara menyuluruh memadamkan lampu dan alat-alat elektronik yang tidak diperlukan selama satu jam, akan terjadi penghematan energi sebesar 300 MW atau sekitar satu pembangkit listrik tenaga listrik bisa diistirahatkan. Bila biaya akibat penghematan energi ini bisa dialihkan maka ada sekitar 900 desa di tempat lain di Indonesia yang bisa diterangi oleh listrik.

Sebagai tambahan, pemadaman sukarela secara menyuluruh satu jam di Jakarta dapat mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 284 ton CO2, dikarenakan penduduk Jakarta adalah 20% dari konsumen listrik nasional. Tentunya bila aksi serupa dilakukan secara reguler oleh penduduk Jakarta dan dicontoh oleh banyak penduduk Indonesia, pilihan membangun yang rendah emisi karbon, yang pada gilirannya berkontribusi kepada penanggulangan perubahan iklim, menjadi sesuatu yang sangat mungkin dicapai.

Tantangan yang paling utama adalah kemudian menggunakan momentum Earth Hour 2009 ini untuk mengubah perilaku kita yang boros energi menjadi lebih hemat. Hemat energi merupakan hemat biaya, sekaligus juga menghemat subsidi sebesar lebih dari Rp100 trilyun yang digunakan untuk mengadakan listrik di Indonesia.

Tentunya, program yang berkesinambungan antara Pemprov DKI, pemilik gedung/ perkantoran, industri dan warga masyarakat secara umum, menjadi indikator keberhasilan Jakarta sebagai kota yang nantinya lebih ramah lingkungan. Dengan komposisi pemakaian listrik penduduk rumah tangga Jakarta sebesar 33%, perkantoran sekitar 29% dan industri sekitar 31%, maka merupakan tanggung jawab bersama

Saat ini sangat tepat bila Jakarta dan Indonesia menjadi bagian dalam gerakan untuk mengubah diri sendiri secara mendunia. Berpartisipasi dalam Earth Hour dengan mematikan lampu dan perlatan elektronik yang tidak diperlukan selama satu jam saja pada Sabtu malam ini, tanggal 28 Maret 2009, pukul 20.30-21.30, kontribusi sederhana kita akan menghasilkan dampak yang positif bagi kota kita tercinta.