Fitrian Ardiansyah, Koran Tempo, Kolom Ilmu dan Teknologi, 6 Januari 2010, Halaman B5
Guna mencegah perubahan iklim yang dahsyat, secara terus-menerus masyarakat dunia berupaya memastikan didapatkannya kesepakatan yang mengikat semua negara. Untuk mencapai hal tersebut, sekitar dua tahun sejak dari Bali ratusan negara bernegosiasi di bawah Kerangka Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim.
Banyak yang mengharapkan Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim ke-15 di Kopenhagen yang lalu dapat menghasilkan kesepakatan yang adil, ambisius dan mengikat. Sebelum Kopenhagen, selain dari Konvensi, PPB mempunyai perjanjian yang mengikat yang dikenal sebagai Protokol Kyoto. Namun, Protokol ini baru mengatur periode pertama (2008-2012) penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dari negara-negara maju sekitar 5 persen dari tingkat emisi pada 1990.
Karena itu, dibutuhkan perjanjian yang mengatur keberlanjutan periode kedua dari Protokol Kyoto serta perjanjian baru yang mengatur seluruh negara untuk secara wajib maupun sukarela mempunyai penurunan emisi besar-besaran.
Diharapkan, negara-negara maju secara berkewajiban menurunkan emisi GRK sekitar 25-40 persen pada tahun 2020 dibandingkan tingkat emisi pada 1990. Sedangkan, negara-negara berkembang secara sukarela menurunkan emisi sekitar rata-rata 30 persen dibandingkan grafik proyeksi pembangunan seperti layaknya saat ini (business as usual).
Seandainya ini tercapai, kenaikan suhu rata-rata muka bumi tidak akan melebihi 2 derajat Celsius – suatu ambang batas yang masih dianggap aman dan belum menimbulkan dampak parah akibat perubahan iklim.
Nyatanya, dinginnya Kopenhagen selama dua pekan sepertinya hanya memberi jalan bagi 119 kepala negara dan puluhan ribu perunding untuk ”sekedar” menghasilkan kesepakatan politis yang dikenal sebagai Copenhagen Accord.
Untuk mendapatkannya memang tidaklah mudah. Walau semua negara terkesan ”bergulat” sampai detik terakhir, keputusan yang ada hanyalah berstatus sebagai ”catatan semata” (taking note of the Accord). Status seperti ini tentulah sangat rapuh, dan tidak mengikat secara hukum. Nasib bumi dipertaruhkan sedangkan berbagai aspek untuk menanggulangi dan beradaptasi terhadap perubahan iklim menjadi tidak terlalu jelas.
Kesepakatan Politis Kopenhagen memang mencantumkan ambisi global dengan angka 2 derajat Celsius. Hanya, karena tidak ada target pengurangan emisi GRK yang jelas – terutama dari negara-negara maju – dalam penurunan emisi, diproyeksikan suhu rata-rata muka bumi dapat meningkat sampai setinggi 3,9 derajat Celsius.
Hal ini dapat berakibat kepada ratusan juta bahkan mungkin hampir setengah milyar penduduk bumi yang akan terkena dampak perubahan iklim dari banjir bandang di daerah pesisir, sampai kepada bahaya kelaparan, seperti yang ditulis dalam Review Stern.
Satu hal yang bisa dikatakan ”menggembirakan” yang tertuang di dalam kesepakatan politis ini adalah klausul penyediaan dana. Di dalam Kesepakatan Kopenhagen ini, negara-negara maju menjanjikan sekitar 30 milyar dolar Amerika sebagai dana tanggap awal (fast-start financing) untuk membantu negara-negara berkembang melakukan upaya adaptasi dan mitigasi, termasuk di sektor kehutanan.
Dana tersebut dapat bertambah sampai mencapai US$ 100 milyar pada 2020. Untuk mengaturnya akan dibentuk Copenhagen Green Climate Fund. Ini merupakan tanda yang baik, walaupun dana yang ditawarkan masih jauh dari harapan, karena selama bertahun-tahun sangat sulit bagi negara maju untuk berkomitmen mengeluarkan angka pasti kontribusi pendanaan mereak bagi negara berkembang.
Satu hal lagi yang mungkin menguntungkan bagi negara hutan tropis seperti Indonesia, adalah diakuinya REDD (pengurangan emisi dari upaya pencegahan deforestasi dan degradasi hutan).
Meski demikian, secara keseluruhan kesepakatan politis ini masih jauh dari cita-cita terjaminnya masa depan yang lebih aman bagi kita dan anak-cucu kita akibat dampak perubahan iklim.
Semua negara masih harus mendorong dicapainya perjanjian yang lebih mengikat secara hukum yang diharapkan dihasilkan di tahun ini. Suatu perjanjian yang secara menyeluruh dapat membuat kita lebih siap menghadapi perubahan iklim beserta dampaknya di tingkat dunia, nasional dan lokal.
FITRIAN ADALAH DIREKTUR PROGRAM IKLIM DAN ENERGI WWF INDONESIA DAN DOSEN TIDAK TETAP PADA PROGRAM PASCASARJANA DIPLOMASI UNIVERSITAS PARAMADINA