Membangun sektor kakao yang berkelanjutan

Oleh Fitrian Ardiansyah, di majalah COKELAT, Edisi 12, Januari – Mei 2016, hal. 10-13. Untuk versi pdf lengkap dari majalah ini (4MB), mohon lihat: post-LKipG-majalah-cokelat-2016-08-05-10-54-45-ID

13907079_876488355817797_8806559083668298698_n

DALAM beberapa tahun terakhir, sektor kakao di dunia dan juga di Indonesia, telah berupaya bertransformasi menjadi lebih berkelanjutan, ramah lingkungan dan sosial sambil terus meningkatkan produktivitasnya. Tantangan terbesar dalam membangun sektor kakao menjadi lebih lestari di antaranya adalah mengembangkan model bisnis di tingkat petani, yang tidak hanya berfokus kepada peningkatan produktivitas, tetapi juga mendorong kewirausahaan petani dan pengelolaan koperasi sekaligus memasukkan unsur perlindungan lingkungan.

Dengan tingkat produksi kakao 350.000 ton per tahunnya (2014/2015), Indonesia saat ini menempati peringkat ke tiga di dunia. Kakao merupakan salah satu komoditas ekspor terpenting untuk Indonesia. Komoditas ini juga penting bagi penduduk perdesaan dikarenakan mayoritas produksi kakao dihasilkan oleh petani kecil. Saat ini, Indonesia memiliki setidaknya 1,5 juta hektar luasan lahan yang ditanami dengan komoditas tanaman kakao, terutama di Sulawesi, Sumatera Utara, Jawa Barat, Papua dan Kalimantan Timur. Dengan banyaknya produksi kakao yang dihasilkan oleh petani kecil, aspek keberlanjutan atau kelestarian kakao tidak akan dapat
dicapai tanpa melibatkan petani kecil.

Untuk menjamin kesuksesan dalam membangun sektor kakao yang berkelanjutan, harus dibarengi dengan upaya selain untuk mendorong pengembangan opsi penghidupan yang berkelanjutan bagi desa tempat petani kakao tersebut tinggal, sekaligus membantu petani dalam peningkatan kapasitas kewirausahaan. Tanpa inovasi yang membantu kapasitas petani (terutama dalam konteks peningkatan produktivitas, pengelolaan lahan yang lebih baik dan pendanaan organisasi petani atau koperasi) akan sulit menjamin keberlanjutan sektor kakao.

Selain itu, dikarenakan situasi pasar ekspor yang dewasa ini juga semakin meminta suatu komoditas untuk diproduksi dengan lebih memperhatikan unsur perlindungan sosial dan lingkungan, pengembangan kakao yang berkelanjutan di Indonesia harus mencakup aspek pengembangan masyarakat setempat, pemberdayaan perempuan, pengentasan kemiskinan dan malnutrisi, dan pengelolaan lahan yang tidak menimbulkan kebakaran lahan, degradasi lingkungan, dan deforestasi. Dalam merealisasikan sektor kakao yang berkelanjutan, pengembangan model atau proof-of-concepts yang digagas bersama oleh pelaku industri, organisasi nirlaba, kelompok petani, maupun pemerintah menjadi penting. Dikarenakan model tersebut diharapkan bisa direplikasi atau dikembangkan di skala yang lebih luas untuk menjamin cakupan konsep untuk sektor kakao berkelanjutan diadopsi oleh banyak pihak.

Inovasi dalam peningkatan produktivitas lahan dan pendanaan petani

Dibandingkan komoditas perkebunan lainnya, salah satu tantangan untuk mewujudkan sektor kakao berkelanjutan adalah rendahnya tingkat produktivitas tanaman kakao, terutama yang dihasilkan oleh petani dengan satuan per hektarnya. Dikarenakan hal tersebut, sejumlah besar petani kakao terjebak dalam siklus kemiskinan yang terus menerus dan dililit hutang yang signifikan. Input yang rendah yang kemudian menghasilkan output yang rendah (kuantitas dan kualitas), secara kronis menghambat pertumbuhan komoditas kakao. Skema untuk membantu petani dalam penyediaan input yang lebih baik, masih belum mempunyai standar yang sama.

Sedangkan, pendanaan untuk petani sendiri dalam mengelola lahan yang lebih baik seringkali tidak tersedia dengan alasan bahwa lembaga perbankan masih melihat tingginya risiko untuk membantu mereka dalam mengelola lahan, sehingga petani masih bergantung kepada pemberi dana informal yang hanya memberikan dana terbatas dan dalam waktu singkat, dan tentunya dengan tingkat suku bunga yang tinggi. Kondisi ini diperparah kemudian dengan usia tanaman yang sudah tua dan semakin menua, ditambah dengan skema pendanaan untuk peremajaan dan rehabilitasi yang belum jelas bentuknya.

Walau begitu, sebenarnya ada beberapa inisiatif yang sudah dikembangkan di beberapa tempat untuk mengatasi siklus input rendah-output rendah tersebut. Sebagai contoh, bantuan dari perusahaan yang bertindak sebagai mitra petani yang kemudian bisa menjamin harga yang rendah dalam pembelian pupuk sangat membantu petani dalam kepastian input dari segi pemupukan. Pengembangan sertifikasi dan traceability (lacak balak dalam rantai pasokan) juga membantu memperkuat hubungan antara perusahaan/pembeli dan petani serta dapat membantu mengidentifikasi komponen- -komponen di tingkat petani yang perlu diperkuat, termasuk dalam hal input. Skema pendanaan dan berbagi risiko dalam penyediaan pupuk dan penyewaan truk, juga bisa didorong sebagai inovasi yang akan membantu kepastian input. Selain itu, sistem perbankan elektronik (mobile banking) juga terus digagas sebagai inovasi yang akan menempatkan petani sebagai pelaku yang bisa lebih dipercaya untuk mendapatkan bantuan dalam penyediaan input.

Untuk mencapai skala yang lebih luas dari inovasi-inovasi yang telah dilakukan, kerjasama antara berbagai pemangku kepentingan (pemerintah setempat, perbankan setempat, dan internasional) menjadi penting. Kerjasama ini diperlukan terutama untuk menghasilkan berbagai skema pendanaan dengan jangka waktu menengah atau panjang yang mendorong ketersediaan dukungan pendanaan dalam penyediaan input untuk lahan petani, kepemilikan atau penyewaan lahan, dan pembiayaan operasional lainnya. Agar pendekatan ini berhasil, terbentuknya dan efektifnya organisasi petani ataupun koperasi sangatlah penting. Tanpa adanya organisasi petani atau koperasi yang efektif, akan sulit bagi perbankan untuk menggelontorkan pendanaan dikarenakan risiko bagi skema pendanaan tersebut menjadi lebih tinggi jika disalurkan ke petani perseorangan.

Dalam rangka membantu petani serta organisasinya, ataupun koperasi, menjadi lebih bankable, pendampingan, dan pemberdayaan serta upaya peningkatan kapasitas mereka merupakan keniscayaan. Petani dan organisasinya, diharapkan dapat diperkenalkan dengan modul- -modul yang akan membantu mereka untuk mengelola keuangannya menjadi lebih efisien dan terpercaya. Tentunya, hal ini hanya bisa dicapai bila terdapat organisasi pendamping di tingkat lokal, yang bekerja sama dengan perbankan ataupun lembaga keuangan setempat, yang memang berpengalaman dalam pengelolaan keuangan di tingkat kecamatan atau desa. Kerjasama semacam ini dapat menumbuhkan kepercayaan antara lembaga-lembaga tersebut dan petani dapat dengan memudah bertanya dan memperbaiki diri dan lembaganya. Pada gilirannya, ketika petani dan organisasinya dapat mengelola keuangannya dengan lebih baik, daya dan posisi negosiasi petani dengan pihak perbankan menjadi lebih besar dan kuat.

Inovasi dalam perlindungan dan pemenuhan hak-hak sosial

Salah satu aspek yang penting dalam pembangunan sektor kakao berkelanjutan adalah perlindungan sosial atau pemenuhan hak-hak masyarakat. Untuk Indonesia, komponen-komponen yang perlu diperhatikan di antaranya adalah pemberdayaan perempuan, peningkatan nutrisi, dan akses masyarakat kepada aktivitas di rantai pasok yang selama ini lebih banyak dikerjakan oleh industri. Konteks pemberdayaan perempuan menjadi strategis dikarenakan petani kakao banyak yang dipersepsikan sebagai sektor yang didominasi oleh laki-laki. Hal ini telah dianggap menghambat akses perempuan dalam penggunaan lahan dan sumberdaya yang berkaitan dengan lahan budidaya tersebut, dan tentunya pendanaan. Karenanya, berbagai inovasi diperlukan untuk memberikan kesempatan bagi perempuan terlibat. Sebagai contoh, dalam pelatihan yang diberikan, porsi keterlibatan perempuan ditingkatkan, ataupun persentase pemberian kredit pertanian juga bagi petani perempuan. Ataupun hal lainnya yang bisa dicoba adalah dengan meningkatkan kapasitas perempuan untuk terlibat dalam upaya kewirausahaan komoditas kakao, dengan menjadi pemimpin di dalam organisasi petani ataupun koperasi.

Dalam konteks malnutrisi, ada beberapa terobosan yang perlu dilakukan. Kasus malnutrisi pada anak, gangguan pertumbuhan, dan sanitasi yang kurang dapat diatasi dengan mengombinasikan program produktivitas petani dengan peningkatan asupan gizi bagi keluarga dan anak. Salah satu model yang bisa diterapkan adalah dengan memperkenalkan penanaman tumbuhan yang berguna bagi peningkatan gizi, pembelajaran mengenai gizi itu sendiri, dan perubahan komponen diet bagi petani dan keluarganya. Pengelolaan keuangan yang lebih baik tentunya akan membantu petani menyisihkan sebagian dananya untuk memenuhi asupan gizi bagi keluarganya.

Inovasi dalam pengelolaan lahan yang lebih baik dan pencegahan deforestasi

Walau tidak seperti komoditas lainnya yang lebih ekspansif, aspek pencegahan degradasi lingkungan termasuk pencegahan deforestasi di sektor kakao sudah menjadi bagian integral yang diminta pelaku pasar. Pencegahan degradasi lingkungan dan deforestasi, hanya saja, melibatkan berbagai pihak dan kepentingan, terutama dalam pengelolaaan ruang dan lahan, yang cukup kompleks. Sebagian tantangannya juga berkaitan dengan baik atau buruknya tata pemerintahan di tempat komoditas kakao tersebut dikembangkan.

Di tempat lain, kakao juga bisa dianggap sebagai buffer (penyangga) yang pada gilirannya dapat melindungi hutan untuk tidak dijarah atau dikonversi menjadi komoditas lainnya. Namun, pengembangan komoditas kakao di kawasan penyangga tersebut haruslah produktif dan mempunyai nilai tambah sehingga petani kakao tidak melebarkan cakupan lahannya ke dalam hutan ataupun mengganti tanaman kakaonya menjadi tanaman lainnya yang lebih ekspansif.

Pengembangan model yang menyeimbangkan peningkatan produktivitas sekaligus perlindungan hutan (production-protection) sangatlah relevan dengan kondisi Indonesia yang masih mempunyai banyak tutupan hutan yang masih asri. Petani kakao yang produktif dan peduli lingkungan, pada gilirannya dapat menjadi penjaga hutan yang sangat efektif. Jika model production-protection dikembangkan dengan konsep lainnya, semacam agroforestry, bisa jadi menarik bagi investor non-konvensional. Investor tersebut misalnya dapat memberikan pendanaan karena adanya serapan karbon atau perlindungan keanekaragaman hayati, atau nilai tambah lainnya. Hal tersebut bisa dikategorikan sebagai penambahan pendapatan bagi petani.

Model semacam ini dapat secara efektif dikembangkan bila ada perencanaan di skala bentang alam (lanskap) yang tentunya memerlukan keterlibatan pemerintah setempat. Keterlibatan pelaku dari komoditas lain juga menjadi penting karena tujuan pengelolaan lanskap yang baik harus didukung oleh semua pelaku usaha, petani, dan pemerintah. Pendekatan lanskap ini juga dapat memberikan kestabilan ekonomi bagi daerah tersebut karena tidak hanya bergantung kepada satu komoditas, sekaligus sinergi pengembangan multi-komoditas dapat tercapai.

Keseimbangan dalam keberlanjutan 

Dalam pembangunan sektor kakao yang berkelanjutan, secara jelas terlihat bahwa aspek peningkatan produktivitas sekaligus perlindungan sosial dan lingkungan perlu didorong secara seimbang. Keterlibatan pemangku kepentingan yang terkait juga penting dikarenakan hal ini dapat membantu menjamin realisasi komoditas kakao yang berkelanjutan di lapangan. Kemitraan dalam mengembangkan model perlu ditingkatkan lebih lanjut dalam skala yang lebih tinggi atau luas, semisal di tingkat lanskap. Indonesia, sebagai negara produsen kakao ke tiga terbesar di dunia, mempunyai kesempatan melakukan transformasi di sektor kakao, yang tentunya hanya bisa dilakukan bila inovasi-inovasi dan model-model yang disebutkan sebelumnya bisa terus dikembangkan dan yang terpenting diterapkan di sentra kakao di seluruh nusantara.

————————-

Penulis adalah Indonesia Country Director untuk IDH-The Sustainable Trade Initiative. Email di Ardiansyah@idhsustainabletrade.com

 

Advertisement

The challenges of environmental governance in a democratic and decentralized Indonesia

Authors: Fitrian Ardiansyah, Melati and Astari Anjani.

A book chapter (Chapter 6) in S Mukherjee & D Chakraborty (eds), Environmental Challenges and Governance: Diverse Perspective from Asia, Routledge (2015), Oxon.

Cover book

Please check this link to access the book and chapter:

https://www.routledge.com/products/9780415721905

Or see the pre-published version of this chapter:

6296-0018-006_FArdiansyah_Preproofread

Introduction:

Since the last decade, Indonesia appears to have increasingly put serious efforts into advancing its commitments in environmental protection and climate change mitigation. The Government of Indonesia (GoIn) led by its president, Susilo Bambang Yudhoyono, for instance, made a famous pledge at the G-20 meeting on 25 September 2009, stating that his government was devising a policy to cut greenhouse gas (GHG) emissions by 26 per cent by 2020 from business as usual (BAU) levels, and up to 41 per cent with international support (Melisa 2010). During his co-chairmanship for the United Nations High Level Panel of Eminent Persons on the Post-2015 Development Agenda, the Indonesian president re-affirmed the importance of environmental protection along with economic development and poverty alleviation (President of Indonesia 2012b).

To achieve its commitment for environmental protection and climate change mitigation, the GoIn has combined various approaches including by issuing domestic policies and programs, and providing economic incentives as well as reforming existing institutions and establishing new ones. A number of regulations and policies were issued by the GoIn on this front and the GoIn set up new agencies, in addition to existing ministries, to help deal with environmental issues. The GoIn has also attempted to provide economic incentives for environmental protection and climate change mitigation (Dhewanthi 2012).

Environmental degradation as elaborated in the following section, however, has continued to affect and threaten all aspects of Indonesian development and people’s lives. The forest and land fires during 2013 and their associated haze, which affected neighboring countries, is a good example of how an environmental disaster not only has disturbed the local economy and health conditions of local people but also can transform the relations of neighboring countries in Southeast Asia into one of the worst in the history of the region (Ardiansyah 2013).

The GoIn’s commitments to protect the country’s environment are ambitious, and to achieve the desired outcomes, it will need all support it can get. Indonesia’s political and governance system, however, is not homogenous. While some government agencies may be willing to collaborate, others such as local governments need to feel the ownership of such ‘ideal call’ and see concrete benefits to get involved. Since decentralization took place in the early millennium, significant powers now rest with the district and municipal governments, including in managing natural resources and the environment. This chapter, therefore, explores key challenges in realizing the country’s environmental management commitments in the current governance context. Prior to discussing regulations and institutions established to address environmental challenges in Indonesia, the following section briefly touches on the country’s state of environment and current challenges that Indonesia has to face. The third section provides an analysis of regulations and policies on the environment and other relevant regulations and policies. This section also examines the interconnection of these different regulations. Section four analyzes roles of different government actors or institutions, and non-state actors, namely civil society groups and the private sector when it comes to environmental management of the country. This section discusses the complexity, challenges and opportunities for these different actors and institutions to collaborate in managing the environment and natural resources in the country. This section also emphasizes the importance of the current decentralized governmental system and the challenges resulting from this system for the country’s environmental management. With an increase in the level of authority of sub-national governments, formulating policies, designing programs and coordinating programmatic implementation of environmental management across more than 400 districts in Indonesia are Herculean tasks for the GoIn. The chapter concludes with remarks that may help further reform in Indonesia’s environmental governance.

Keywords: Indonesia, decentralization, environmental governance, forest and land use governance, legal framework.

Chapter

The Launching of “Little Sustainable Landscapes Book”

by Fitrian Ardiansyah, 5 December 2015, Global Landscape Forum, Paris, COP-21.

Little Landscape Book

Picture: by Nienke Stam

The book is written collaboratively by GCP (Global Canopy Program), EcoAgriculture, IDH-The Sustainable Trade Initiative, TNC (The Nature Conservancy) and WWF (World Wide Fund for Nature).

My remarks at a panel discussion during the launching if this book are:

1) Transformation of commodities throughout supply chain may improve individual concessions and sectors but cross-sectoral challenges are still there and may need to be addressed further. These challenges include land legality, peat/forest management at a larger scale, water/ hydrological management, social dimension/conflicts, and improving productivity of smallholders.

2) Hence, combining productivity improvement and forest/peat protection is required to be done also beyond the scope of concessions. The scale we are talking about include a larger landscape level.

3) This “Little Sustainable Landscapes Book” appears to be little in its presentation but can have a huge impact since it can provide lessons-learnt and guidance for land use players and stakeholders to have a better landscape approach and initiative – and to collaborate meaningfully.

4) In the context of government leadership, not only national government, but sub-national level governments need to take the lead. Nevertheless, they need to be supported by the private sector as well as NGOs and communities to ensure that a healthy mosaic landscape can be achieved.

5) IDH, in our capacity, is piloting 7 to 9 landscapes around the globe and we have provinces in Indonesia that we are trying to support: i.e. South Sumatra, West Kalimantan and Aceh. We believe landscape interventions in this province would entail components of better spatial planning, green growth plan, individual commodities/sectoral plans that take account sustainability, and co-financing/investment to improve productivity of small players and protection/restoration.

6) The costs/investment for landscape interventions, nevertheless,is enormous. Financial sources need to come from both public sources (e.g. government budget, CPO/crude palm oil Fund in the context of Indonesia) and private sources. If these can be combined, challenges in a landscape can be addressed in a structured way.

Copy of the book can be found at http://globalcanopy.org/sustainablelandscapes

The complete coverage of Little Sustainable Landscapes Book Launch Panel can also be watched on YouTube

 

 

Sustainable forest management and a healthy landscape

by Fitrian Ardiansyah, 3 December 2015, Paris, Indonesia Pavilion, COP-21, UNFCCC.

 

Fitrian_3 Dec_COP21

These remarks were taken from my presentation and discussion that contributed to a panel discussion on Natural Forest: Production and Conservation.

The key points are:

(1) IDH’s Tropical Timber Program has been working in three important tropical regions: i.e. Amazon, Congo Basin, Indonesia. We support and co-finance efforts of concessions and others to achieve certified sustainable forest management. In each region, the aim is to obtain 4 million ha of credible certified SFM (sustainable forest management). In Indonesia we collaborate with and support The Borneo Initiative and many concessions. The progress in Indonesia is that 1.5 million hectares have been certified (fully or control wood) and more than 2 million hectares are still in progress.

(2) We also work in the demand side, ensuring the uptake and market access of that SFM products.

(3) To achieve sustainability, addressing legality is a must and can act as a starting point. In our view, there will not be sustainability without legality. Initiatives like SVLK (timber legality verification system) in Indonesia should be encouraged and supported.

(4) Individual SFM and concessions are good but still insufficient, especially if we want to address cross-cutting issues and challenges. These include wildlife management and protection, fire, peat and water management, high conservation values and social dimension. These concessions – albeit having certified SFM – still need to work together among themselves and with other land use actors, including oil palm plantations, industrial timber plantations and communities. Based on this, selecting a landscape approach as a platform is imperative.

(5) In a landscape approach, not only regulations that would be crucial to guide collaboration, incentives need to be created so that better behaviour of land use actors can be ensured.

Please see the presentation here: SFM and landscape_FA_03122015

Note: Picture by Aristia Wanjaya

Forest and land-use governance in a decentralized Indonesia: A legal and policy review

By Fitrian Ardiansyah, Andri Akbar Marthen and Nur Amalia, published by Center for International Forestry Research (CIFOR), 2015. Please quote as:

Ardiansyah F, Marthen AA and Amalia N. 2015. Forest and land-use governance in a decentralized Indonesia: A legal and policy review. Occasional Paper 132. Bogor, Indonesia: CIFOR.

for the pdf version (988kb), please see: OP-132_Ardiansyah et al_2015

Cover

Synopsis:

This report is a legal and policy review of the powers of key government agencies and lower-level governments and the relations among these different agencies at different levels (e.g. the relationship between the local and central governments) in forest and related sectors. The focus of this review is to identify a particular government agency or level of government that has the legal power to make resource decisions in different spheres related to forests, land use affecting forests and/or benefit sharing, including REDD+. It aims to provide an understanding of the legal basis for the powers of such agencies or a level of government. The review also examines different key actors in each sphere (including whether these agencies can make certain decisions according to the laws and regulations), the differences among agencies, and the scope of authority of lower-level governments.

The review in this report contains an introduction and four main sections. The first (Section 2) describes the division of responsibilities and power across the different levels of government. It provides a general overview of powers (e.g. the extent to which they are permitted to legislate or make decisions) and responsibilities as established by decentralization laws and policy, budget distribution as established by law, and other relevant aspects. This section addresses issues related to the overview of different levels of government in Indonesia, including the evolution and process of decentralization; the definition, scale and scope of regional autonomy/decentralization powers; the powers shared among agencies at different levels; and other relevant aspects.

The second section (Section 3) is on financial resource mechanisms and distribution. It serves as a background for the on-the-ground study of benefit-sharing mechanisms (e.g. actual and potential with regard to REDD+). This section seeks to address issues related to the arrangement of financial resources and the powers and responsibilities over them assigned and distributed among the different levels of government. Such responsibilities include forest fees and other royalties, as well as any existing benefit or incentive schemes (e.g. payment for ecosystem services, or PES) aimed at maintaining forests or promoting sustainable forest management or REDD+.

Section 4 describes the role that different levels of government play by law in the following list of land-use decision or policy arenas affecting forests: (1) spatial and land use planning, (2) defining the vocation of the land and conversion rights, (3) the titling of agricultural land, (4) the titling of indigenous land within forest areas, (5) the governments’ ownership and administration of the land, (6) natural protected areas, (7) mining concessions, (8) forest concessions, (9) oil palm, and (10) infrastructure. This section uses summary tables as far as possible, describing the division of responsibilities among the different levels of government, including in the making of formal decisions, which procedures are used, and the division and balance of powers across functions (i.e. in establishing policy and norms, authorizing, administering, controlling and monitoring, and auditing).

The last section (Section 5) further explains the role and opportunities for indigenous (adat) law. This includes a review of the definition of adat law and the legal basis for communities making land claims based on such law. This section discusses challenges and opportunities for adat law to be further recognized in the Indonesian legal system.

Original link: http://www.cifor.org/publications/pdf_files/OccPapers/OP-132.pdf