Dipublikasikan di ANTARA, Karkhas, 09 Jan 2011 21:55:19
Oleh Fitrian Ardiansyah*
Dalam pergantian tahun banyak yang berharap bahwa Indonesia akan menjadi lebih baik dari sebelumnya, termasuk tentunya keberadaan hutan yang menjadi lebih lestari dan terjaga.
Hutan di Indonesia merupakan salah satu yang terluas di dunia. Selama bertahun-tahun hutan kerap berfungsi sebagai salah satu mesin pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah, serta bertindak sebagai penyokong kehidupan masyarakat setempat dan adat.
Pada tahun 90-an, Indonesia dikenal sebagai pengekspor utama produk kayu lapis di dunia. Selain itu, negara ini juga mengekspor produk sektor kehutanan lainnya secara signifikan.
Tahun 1985, devisa yang dihasilkan dari ekspor produk sektor kehutanan mencapai 1,2 miliar dollar AS. Nilai ekspor ini kemudian naik pada 2003 menjadi sekitar 6,6 miliar dollar AS, atau sekitar 13,7 persen dari total ekspor non-migas Indonesia.
Meski pada 2009 dan 2010 penerimaan dari sektor industri kehutanan nasional turun, nilai ekspornya masih cukup besar yaitu mencapai 6,7 miliar dolar AS.
Hanya saja, keuntungan ekonomi yang diraup dalam bentuk nilai ekspor ini sering kali tidak tercermin ke dalam bentuk peningkatan kesejahteraan masyarakat yang hidup di sekitar hutan dan dampak lingkungan yang terjadi karena kerusakan dan kehilangan hutan.
Secara nasional, berdasarkan data Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), jumlah penduduk yang tinggal di desa hutan itu mencapai 33,5 juta jiwa dan diperkirakan hampir setengahnya masuk dalam kategori keluarga miskin.
Kehilangan dan kerusakan hutan yang berkontribusi terhadap bencana lingkungan, semisal banjir, kebakaran hutan dan lahan, kekeringan serta tanah longsor, mempunyai laju yang mengkhawatirkan.
Dari data Kementerian Kehutanan (Kemenhut) sendiri dan analisis akademis, tercatat bahwa laju kehilangan hutan di tahun 90-an merupakan yang tertinggi yaitu sekitar 1,87 juta hektare per tahunnya.
Data terbaru dari Kemenhut menunjukkan bahwa walaupun berkurang, laju kehilangan hutan masih mencapai 0,8 juta hektare per tahunnya, dari tahun 2006 ke 2008. Sedangkan hutan yang rusak terhitung seluas 59,7 juta hektare sampai tahun 2002.
Lalu, apakah harapan akan perbaikan pengelolaan hutan untuk lebih lestari hanya akan menjadi harapan kosong? Seharusnya tidak.
Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono pada 2010 berkomitmen menyelamatkan hutan alam yang masih tersisa di bawah naungan inisiatif REDD (pengurangan emisi gas rumah kaca dari pencegahan kehilangan dan kerusakan hutan).
Komitmen ini di sampaikan dalam bentuk janji presiden untuk menghentikan izin baru bagi aktivitas yang akan membuka hutan alam dan gambut sejak Januari tahun ini, seiring penandatangangan perjanjian bilateral antara Indonesia dan Norwegia untuk mendukung inisiatif REDD.
Januari 2011 sudah tiba dan kita memasuki Tahun Hutan Internasional yang dicetuskan PBB.
Satu tahun juga hampir terlampaui sejak penandatangan perjanjian bilateral REDD dan disampaikannya janji presiden tersebut.
Tahun ini, karenanya, adalah saat yang tepat untuk melihat apakah janji tersebut diwujudkan ke dalam produk hukum yang jelas dan tegas, mekanisme keuangan yang adil, dan program pembangunan yang menjamin terselamatkannya hutan alam dan gambut yang masih tersisa di bumi Nusantara.
Produk hukum yang jelas dan tegas ini sangat dibutuhkan, karena menurut hasil penelitian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dipublikasikan awal Desember tahun lalu, salah satu hal yang penting yang mendorong terjadinya korupsi dan kejahatan kehutanan adalah adanya ketidakjelasan dalam aspek hukum kehutanan.
KPK menemukan ketidakpastian definisi kawasan hutan dalam UU no. 41 tahun 2009, PP no. 44 tahun 2004, SK Menhut no. 32 tahun 2001, dan Permenhut no. 50 tahun 2009.
Situasi seperti ini memungkinkan terjadinya perlakuan memihak yang dapat dimanfaatkan untuk meloloskan pelaku pembalakan liar (illegal logging) dan penambangan ilegal dari jeratan hukum.
Selain itu, ketidakpastian ini juga menimbulkan tumpang tindih kewenangan dalam menentukan kawasan hutan antara pusat dan daerah terkait Rencana Tata Ruang Wilayah.
Temuan KPK lainnya menunjukkan lemahnya legalitas dan legitimasi penunjukan 88,2 persen kawasan hutan (lebih dari 105,8 juta ha) yang sampai saat ini pun sebenarnya belum seluruhnya selesai ditetapkan.
Keadaan semacam ini mengakibatkan pengelolaan ruang dan hutan di Indonesia rentan korupsi dan konflik yang pada gilirannya berujung kepada ketidakpastian hak dan ruang investasi serta tidak jelasnya pengelolaan kawasan hutan di lapangan.
Padahal agar tercapai pemanfaatan ruang yang optimal sekaligus menjaga hutan dan ekosistem penting yang masih tersisa, kepastian hukum menjadi syarat mutlak.
Karena tanpa kepastian hukum dengan didukung penegakannya yang sungguh-sungguh, investasi yang serius untuk membenahi pengelolaan hutan secara lestari dan pengelolaan ruang yang merangkum pihak swasta sekaligus masyarakat setempat dan adat sulit terwujud.
Kepastian hukum ini tentunya harus pula didukung oleh mekanisme keuangan yang adil dan program ekonomi yang secara kreatif meningkatkan nilai tambah bagi produk hutan.
Program ekonomi yang bukan saja berorientasi kepada devisa dari hasil ekspor produk kayu, tetapi juga kepada produk non-kayu dan jasa lingkungan sehingga menaikkan kesejahteraan ekonomi masyarakat setempat dan adat, sekaligus menjaga kelestarian hutan serta menekan bencana lingkungan.
Banyak yang menanti apakah janji yang diucapkan untuk penyelamatan hutan Indonesia terwujud mulai tahun ini?
*Fitrian adalah Penerima Australian Leadership Award dan Allison Sudradjat Award, Penasihat Program Perubahan Iklim dan Energi, WWF-Indonesia, dan Kandidat Doktor di Australian National University
Original link: http://www.antarajatim.com/lihat/berita/52788/mencermati-nasib-hutan-indonesia-pada-2011
Saya sangat tertarik isu-isu mengenai hutan, karena hutan di daerah saya sudah rusak parah
thanks